Kamis, September 25, 2025
No menu items!
BerandaNasionalUniversitas Paramadina Gelar Diskusi Publik Tentang Kredibilitas Komunikasi Pemerintahan Prabowo

Universitas Paramadina Gelar Diskusi Publik Tentang Kredibilitas Komunikasi Pemerintahan Prabowo

Berdaulat.id, Jakarta, 11 Maret 2025 – Universitas Paramadina mengadakan diskusi publik bertajuk “Kepercayaan Publik yang Hilang: Urgensi Kredibilitas Komunikasi Pemerintahan Prabowo” di kampusnya yang terletak di Kuningan, Jakarta, pada Selasa (11/3/2025). Acara ini digelar secara offline di Trinity Tower Lt.45 dan dihadiri oleh berbagai narasumber, akademisi, serta media.

Diskusi yang dimoderatori oleh Faris Budiman Annas, M.Si., Sekretaris Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina, mengangkat tema tentang peran penting Juru Bicara Presiden (Jubir) dalam membangun komunikasi yang efektif antara pemerintah dan publik. Menurut Prof. Didik J. Rachbini, Rektor Universitas Paramadina, pola komunikasi pemerintah di Indonesia mengalami banyak perubahan sejak era Presiden Soekarno hingga saat ini.

Dalam sambutannya, Prof. Didik menyoroti perbedaan cara komunikasi di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang dinilai lebih rapi dan transparan dibandingkan dengan pemerintahan saat ini. Ia mengungkapkan bahwa komunikasi pemerintahan setelah SBY terkesan kurang terstruktur, dengan dominasi buzzer politik yang sulit diidentifikasi posisinya. “Buzzer tidak memiliki kedudukan yang jelas. Jika mereka relawan, sebaiknya dimasukkan dalam institusi resmi untuk memastikan transparansi,” ujarnya.

Selain itu, Prof. Didik juga mengutip riset LP3ES yang menunjukkan bahwa hoaks sering kali muncul dari institusi negara, termasuk narasi yang menyamakan KPK dengan Taliban, yang menurutnya merupakan bagian dari usaha untuk membentuk opini publik.

Sejarah Peran Juru Bicara Presiden

Andi Mallarangeng, mantan Jubir Presiden SBY, menjelaskan perkembangan peran Jubir sejak era Presiden Soekarno hingga saat ini. Ia mengungkapkan bahwa di era Bung Karno, posisi Jubir berfokus pada ideologi, sementara di era Soeharto, komunikasi pemerintah dilakukan oleh para menteri tanpa adanya Jubir resmi. Era Gus Dur dan Megawati Soekarnoputri juga tidak memiliki Jubir tetap, sementara di era SBY, posisi Jubir kembali diperkenalkan dengan dua orang Jubir untuk urusan dalam negeri dan luar negeri.

Andi juga menyoroti bahwa di masa pemerintahan Presiden Jokowi, fungsi Jubir tidak optimal dan lebih banyak melibatkan buzzer politik di media sosial yang sering kali menyerang lawan politik, bukan menyampaikan informasi yang jelas dan terstruktur.

Komunikasi Pemerintah di Era Digital

Uni Zulfiani Lubis, Pemimpin Redaksi IDN Times, mengungkapkan bahwa di era digital, pola komunikasi pemerintahan semakin bergantung pada media sosial. Ia menyayangkan bahwa pertemuan dengan pemimpin redaksi kini hanya dilakukan dua kali setahun dengan durasi yang sangat terbatas. “Kesempatan untuk klarifikasi semakin sedikit, dan media lebih sering mendapatkan informasi melalui YouTube Presiden,” kata Uni.

Sebaliknya, pada era SBY, Uni menilai, komunikasi dengan media lebih terbuka dan interaktif, di mana SBY bahkan mengadakan diskusi panjang dengan lebih dari 60 pemimpin redaksi untuk menjelaskan kebijakan pemerintah.

Perlunya Mutual Respect dalam Komunikasi

Budiman Tanuredjo, jurnalis senior, menekankan pentingnya komunikasi yang berbasis pada mutual respect antara pemerintah dan media. Ia mengingatkan bahwa komunikasi yang baik harus membangun pemahaman, bukan hanya sekedar menyampaikan informasi. “Komunikasi yang baik adalah tentang membuka ruang diskusi, bukan tentang menciptakan polarisasi,” ujar Budiman.

Budiman juga mencontohkan bagaimana di era SBY, kritik dari media selalu disikapi dengan terbuka oleh pemerintah, yang memperlihatkan adanya saling pengertian dan komunikasi yang sehat.

Pentingnya Transparansi dan Konsistensi

Abdul Rahman Ma’mun, Dosen Universitas Paramadina, menyoroti pentingnya komunikasi pemerintah yang tidak hanya bergantung pada personalisasi pejabat, tetapi juga pada fungsi-fungsi yang dijalankan. Menurutnya, Presiden sebagai komunikator utama harus membangun kepercayaan publik dengan tindakan yang transparan dan konsisten.

Abdul Rahman mengkritisi inkonsistensi dalam komunikasi pemerintah yang dapat merusak kepercayaan publik. “Publik menginginkan transparansi dan konsistensi, bukan sekadar informasi yang mengalir deras tanpa akuntabilitas,” tegasnya.

Diskusi ini mengingatkan bahwa dalam era informasi yang melimpah, transparansi dalam komunikasi pemerintah sangat penting untuk mempertahankan kepercayaan publik, bukan hanya melalui jumlah informasi, tetapi juga kualitas dan kredibilitasnya.

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Most Popular

Recent Comments