Oleh: Yons Achmad(Penulis, tinggal di Depok)
Berdaulat.id, Kalender menunjukan warna merah. Hari Senin Merah, Selasa libur bersama. Artinya, sejak hari Jumat, banyak orang telah merencanakan beragam tamasya untuk merayakan kebahagiaan. Bagi dirinya, keluarga atau rekan-rekan sekantor. Layaknya tujuan utama tamasya, semua tentu ingin meraih kebahagiaan, setidaknya sementara. Pertanyaannya, apa itu kebahagiaan? Saya coba persisten mempertanyakan sesuatu hal. Untuk menemukan kebaruan, setidaknya untuk diri sendiri.
Sekarang, memang banyak yang menahan renjana (sebuah rasa hati yang kuat), rindu untuk melakukan hal yang sama. Tamasya kebahagiaan. Sayang, takdir memeluknya dengan kehidupan yang semenjana. Tak semua bisa begitu saja ada dan terlaksana. Justru, inilah seninya hidup. Penyair WS Rendra pernah berkata dalam sajaknya “Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh. Hidup adalah bekerja membalik tanah. Memasuki rahasia langit dan Samudra.”
Jalan tamasya kebahagian macam ragam. Kawan, seorang CEO perusahaan di Jakarta, baginya kebahagiaan paling menyenangkan adalah kulineran makan-makan. Kawan di Depok lain lagi, baginya kebahagiaan adalah bisa keliling dunia, dia melakukannya sampai sekarang dengan campervan. Soal menikah tak penting baginya, kebahagiaan adalah traveling. Kawan satu lagi, menjadi penyair sufistik, tinggal di pinggir Kali Code, sungai legendaris di tengah kota Jogjakarta, baginya, kebahagiaan adalah menolak kesenangan-kesenangan duniawi. Mereka kawan-kawan karib saya, yang masih saling bertegur sapa dalam sebuah group WA “Sekte Hati Rindu”. Punya jalan masing-masing untuk meraih kebahagiaan.
Al Farabi, seorang filsuf muslim asal Turkistan dalam kitab “Risalah Tanbih as-Sabil as-Sa’adah” melukiskan bahwa kebahagiaan adalah kebaikan yang diinginkan untuk kebaikan itu sendiri. Artinya, seorang melakukan kebaikan adalah dengan motif karena suka melakukan kebaikan itu. Alasan seseorang melakukan kebaikan bukan karena apa-apa atau karena ada apanya. Tapi karena memang tahu kebaikan itu baik dan luar biasa manfaatnya dan Allah suka itu.
Aristoteles punya pemikiran yang berbeda. Menurutnya, tindakan dan hidup manusia selalu memiliki arah. Adapun tujuan tertinggi manusia (tujuan akhir) adalah kebaikan. Dan kebaikan tertinggi manusia disebutnya sebagai kebahagiaan. Ia, menafsir kebahagiaan sebagai tindakan jiwa yang selaras dengan keutamaan sempurna. Dalam Bahasa Yunani disebut sebagai “Psyche” (Jiwa yang rasional) dan “Arete” yaitu keutamaan sebagai manusia yang baik berupa keutamaan moral dan intelektual. Pemikiran ini kemudian dikenal dengan konsep “Eudoimania” jiwa yang baik yang melahirkan kebahagiaan.
Dalam bahasa Arab sendiri konon ada empat kata yang berhubungan dengan kebahagiaan yaitu “Sa’adah” (Bahagia), “Falah” (beruntung), “Najat”(Selamat) dan “Najah” (berhasil). Jika “Sa’adah” (Bahagia) mengandung nuansa anugerah Allah yang terlebih dahulu mengarungi kesulitan, maka “Falah” mengandung arti menemukan apa yang dicari (idrak bughyah) versi duniawi dan ukhrawi. Sedangkan “Najat” merupakan kebahagiaan yang dirasakan karena merasa terbebas dari ancaman yang menakutkan. Sementara “Najah” adalah perasaan bahagia karena yang diidam-idamkan ternyata terkabul padahal awalnya mungkin merasa pesimis.
Melalui ucapan yang tulus, saya mengucapkan selamat menempuh tamasya kebahagiaan. Setiap manusia punya jalan masing-masing dalam menempuh kebahagiaan versinya sendiri. Hanya saja, satu hal yang pasti, ketika kita disibukkan dalam tamasya kebahagiaan, sesekali perlu juga melongok ke dalam diri. Sebenarnya, kebahagiaan itu apa menurut saya? Selamat bertamasya.