Setelah berhenti beroperasi pada akhir 2024, startup eFishery yang sempat digadang-gadang sebagai bintang di sektor perikanan Indonesia kini terjerat masalah hukum. Perusahaan rintisan ini dituduh oleh sejumlah pihak telah menggelapkan dana investor melalui praktik-praktik yang menipu. Skandal ini bukan hanya mengguncang eFishery, tetapi juga mencoreng kepercayaan terhadap ekosistem startup di Indonesia. Tim Jelasin Dong! dari Tempo di channel youtubenya menggali cerita di balik layar skandal ini, termasuk bagaimana eFishery diduga menggelembungkan transaksi untuk memikat investor. Berikut ulasan lengkapnya.
Awal Mula eFishery: Solusi Cerdas untuk Petambak
eFishery lahir pada Oktober 2013 dengan misi mulia: membantu petambak ikan mengatasi masalah akses modal dan pasar. Didirikan oleh Gibran Huzaifah (lulusan ITB) bersama Ihsan (dari Unpad) yang bertemu melalui beasiswa Nurul Fikri, eFishery awalnya memperkenalkan eFeeder, alat pemberi pakan ikan otomatis yang mendeteksi kapan ikan lapar. Inovasi ini diharapkan meningkatkan efisiensi dan mengurangi biaya bagi petambak.
Namun, karena harga eFeeder dianggap mahal oleh petambak, eFishery mengubah model bisnisnya. Mereka beralih dari menjual alat menjadi menyewakannya, sekaligus menawarkan pembiayaan pakan yang bisa dibayar setelah panen. Ikan yang dihasilkan petambak kemudian dibeli oleh eFishery melalui platform digital mereka untuk dijual ke restoran atau supermarket. Model ini terdengar menjanjikan dan berhasil menarik perhatian investor. Pada 2018, eFishery mendapatkan pendanaan sebesar 4 juta dolar, dan puncaknya pada tahun-tahun berikutnya mencapai 200 juta dolar.
Gelembung Mulai Terlihat: Skandal Terbongkar
Semua berjalan mulus hingga awal Januari 2024, ketika laporan dari media asing memicu kehebohan. Dugaan manipulasi data keuangan eFishery mencuat setelah Patrick Waluyo dari Northstar, salah satu investor, berbicara di Private Equity and Venture Capital Summit di Jakarta pada 16 Januari. Patrick menyebut praktik ini “sistematis” dan merusak reputasi investor asing seperti Northstar.
Pemicu awalnya ternyata cukup tak terduga. Seorang mantan karyawan eFishery, dalam obrolan santai dengan perwakilan Temasek (investor lain), membeberkan ketidaksesuaian angka kinerja yang dia miliki dengan laporan resmi perusahaan. Dari situlah, audit forensik oleh FTI Consulting, lembaga berbasis di Singapura, dimulai. Hasilnya mencengangkan: untuk sembilan bulan pertama 2024, eFishery melaporkan pendapatan 122 triliun rupiah, padahal angka sebenarnya hanya 25 triliun rupiah—selisihnya sangat jauh!
Audit juga mengungkap bahwa penggelembungan ini bukan kejadian baru, melainkan sudah berlangsung sejak 2018. Skandal ini akhirnya memaksa Gibran mundur dari posisinya sebagai pimpinan, digantikan oleh orang-orang pilihan investor. Operasional eFishery pun berhenti total pada Desember 2024.
Modus Penggelembungan: Menipu dengan Transaksi Palsu
Bagaimana eFishery bisa menipu investor selama bertahun-tahun? Modusnya ternyata cukup cerdik, meski melanggar etika bisnis. Berikut adalah cara-cara yang mereka gunakan:
- Merekrut Petambak dan Tengkulak ke Platform
eFishery mendekati petambak dan tengkulak yang sebelumnya tidak menggunakan platform mereka. Dengan iming-iming komisi, mereka diminta memasukkan transaksi yang sudah ada ke dalam sistem eFishery. Ini membuat volume dan nilai transaksi di platform melonjak drastis, meski sebenarnya tidak ada pertumbuhan riil. - Menggelembungkan Gross Merchandise Value (GMV)
GMV, metrik yang sering jadi daya tarik bagi investor, sengaja dipompa dengan data transaksi fiktif ini. eFishery mengklaim transaksi mereka mencapai 1 miliar dolar, bahkan menyatakan ambisi menjadi unicorn. Padahal, angka itu jauh dari kenyataan. - Dugaan Perusahaan Fiktif
Ada tuduhan bahwa eFishery membuat perusahaan-perusahaan “bayangan” untuk mengalirkan dana investor. Meski detailnya belum sepenuhnya terungkap, ini menjadi salah satu fokus penyelidikan hukum saat ini. - Pemalsuan Jumlah eFeeder
eFishery juga diduga menggelembungkan jumlah eFeeder yang digunakan petambak, dari puluhan ribu menjadi ratusan ribu, untuk menunjukkan kesuksesan teknologi mereka.
Gibran, dalam sebuah pernyataan kontroversial pada Maret 2024, pernah mengatakan bahwa praktik semacam ini umum dilakukan startup Indonesia untuk menarik dana. Pernyataan ini memicu reaksi keras, termasuk dari Kevin Aluwi (pendiri Gojek) yang membantahnya di Twitter dengan, “Ga semua bro kaya gitu, gua ga.”
Dampak Besar pada Petambak dan Investor
Skandal ini tak hanya merugikan investor, tetapi juga ribuan petambak yang bergantung pada eFishery. Platform ini bekerja sama dengan petambak di Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, memberikan pembiayaan pakan melalui saldo digital berdasarkan kapasitas produksi (misalnya, 30 juta atau 80 juta rupiah per petambak). Setelah panen, ikan dijual kembali lewat platform tersebut.
Ketika eFishery berhenti beroperasi pada Desember 2024, petambak kehilangan akses ke pembiayaan dan pasar. Banyak dari mereka yang terlanjur menambah kolam dan meningkatkan produksi kini bingung mencari pembeli untuk ikan yang melimpah. Yang lebih memprihatinkan, sebagian petambak adalah pendatang baru di sektor ini, tergiur oleh kemudahan syarat (hanya KTP dan KK) yang ditawarkan eFishery. Kini, mereka terlantar tanpa solusi.
Di sisi lain, investor kehilangan kepercayaan. Pendanaan startup di Indonesia anjlok 90% dari kuartal keempat 2024 ke kuartal pertama 2025. Kasus eFishery menambah daftar skandal startup seperti Investree dan TaniHub, membuat investor asing ragu menanamkan modal di Indonesia.
Mengapa eFishery Gagal Menguasai Pasar?
Meski berhasil mengumpulkan ratusan juta dolar, eFishery ternyata tak mampu menguasai rantai pasok perikanan. Mereka tidak memiliki kontrak jangka panjang dengan pembeli besar seperti supermarket atau pabrik pengolahan ikan. Sekitar 80% penjualan ikan di platform mereka masih dikuasai tengkulak, bukan eFishery sendiri. Rencana membangun pabrik pengolahan ikan di Medan untuk ekspor fillet tilapia ke Amerika Serikat pun gagal terwujud akibat skandal ini.
Selain itu, eFishery tidak memiliki stok pakan atau infrastruktur pengolahan sendiri. Mereka hanya bertindak sebagai platform penghubung, bergantung pada supplier dan tengkulak. Ketika operasional berhenti, seluruh ekosistem yang mereka bangun runtuh.
Implikasi Lebih Luas: Krisis Kepercayaan
Skandal eFishery bukan sekadar masalah internal perusahaan, tetapi juga mencerminkan kelemahan dalam ekosistem startup Indonesia. Investor, terpesona oleh angka-angka fantastis, sering kali mengabaikan Good Corporate Governance (GCG) dan verifikasi data. Asosiasi Modal Ventura Indonesia (Ampesindo) kini berupaya memperbaiki hal ini dengan menggagas maturation map, panduan bertahap untuk meningkatkan transparansi dan tata kelola startup berdasarkan skala pendanaan mereka.
Namun, dampaknya sudah terasa. Indonesia kini dianggap berisiko tinggi oleh investor asing, meningkatkan cost of fund seperti bunga pinjaman dan obligasi. Sektor lain di luar perikanan pun terkena imbasnya, menghambat pertumbuhan ekonomi yang sedang lesu—di kuartal pertama 2025, pertumbuhan ekonomi hanya 4,7%.