Jakarta, berdaulat.id – Yayasan Pusat Peradaban Islam (YPPI) sebagai wadah dari Ar-Rahman Quranic Learning (AQL) Islamic Center mengungkapkan bantuan internasional sudah masuk wilayah bencana banjir dan longsor di Aceh, Sumatera Barat (Sumbar), dan Sumatera Utara (Sumut).
Jadi, ini bisa dilakukan mereka tanpa pemerintah menetapkan daerah tadi sebagai bencana nasional.
“Katakanlah kita bekerjasama dengan lembaga dari Jerman, Turki, dan sebentar lagi lembaga dari Arab Saudi mau ngasih, walaupun sifatnya nggak terlalu bombatis secara formal sepert Aceh waktu tsunami,” kata Pembina Yayasan Pusat Peradaban Islam (YPPI), KH Bachtiar Nasir pada Ahad (14/12/2025).
Soal pengertian status bencana di Sumatera juga tidak dipahami KH Bachtiar Nasir apakah sama atau berbeda antara dirinya dengan seseorang. Dia berpendapat pernyataan seseorang tentang ini hanya asumsi dan mengikuti orang lain saja.
“Sampai kalau ada statement, kalau ini ditetapkan pemerintah status bencana nasional, maka semua penanganan ini akan dibiayai negara, mereka yang merusak alam ini enak dong?”, tuturnya.
“Mereka belum sempet dihukum, seharusnya mereka harus bertanggungjawab seperti terjadi sebelum-sebelumnya di-assessment dulu perusahaan mana dan lembaga mana. Saya kira itu akan menjadi masalah, tapi saya pikir itu urusan dia deh.”
Namun, jika ini KH Bachtiar Nasir tahu dan rasakan sebagai saksi di lapangan penanganan bencana dinilai bantuan internasional bisa masuk ke Indonesia.
“Hanya saja yang bentuk formal, ini akan menjadi bombastis atau konsumsi dari lembaga sosialnya, saya tidak tahu di mana posisi negara pada saat itu,” ujarnya.
KH Bachtiar Nasir juga menyinggung kerja negara terkait penanganan bencana pada tahun ini dibandingkan tahun lalu. Dia tidak melihat tenda-tenda yang dibangun Badan Nasiona Penanggulangan Bencana (BNPB).
“Sekarang kalau ada yang pasang itu pada takut kayanya, kadang-kadang NGO (non government organization) yang mau nerima itu khawatir masyarakatnya menerima apa tidak,” tuturnya.
“Karena kejadian di depan mata saya disorakin, padahal mereka bukan pelaku dan tulus mau berbuat. Saya cuma mau bilang kalau belum faham masalah status bencana nasional baiknya nanya dulu saya termasuk yang belum faham.”
Menyoal bantuan internasional sekali lagi, ucap KH Bachtiar Nasir, sudah masuk ke Indonesia dilihat secara langsung seperti kerjasama NGO internasional. Pihaknya merasa terikat dengan jaringan-jaringan lembaga internasional.
“Mungkin yang dilarang negara adalah yang bentuknya formal,” ujarnya.
Melebihi Bencana Tsunami
Sementara itu KH Bachtiar Nasir mengungkapkan bencana banjir dan longsor di Sumatera lebih berat dibandingkan bencana tsunami di Aceh. Pasalnya, bencana ini berakibat sebanyak 13 kabupaten tidak bisa saling terhubung satu sama lain.
“Transpotasi yang terbaik adalah helikoter yang bisa masuk dan memuat bantuan,” ujarnya.
Cakupan bencana banjir dan longsor di Sumatera yang luas juga berakibat tidak dapat ditangani BNPB. Badan ini belum melihatnya pada hari kesembilan dan kesepuluh.
“Bencana ini sampai hari ketujuh belum banyak yang kesentuh (tahu), bahkan hari kesepuluh,” ucapnya.
KH Bachtiar Nasir mengaku dia baru bisa menembus lokasi bencana banjir dan longsor di Aceh Tamiyang pada hari ketujuh selama tiga jam dari Medan mulai jam 22.00 WIB. Sebelumnya, ini hanya bisa ditempuh selama belasan jam.
“Cuma saat itu bau bangkainya dan malam itu satu polres, listrik belum turun semua (menyala), bencana ini sangat berbeda dibandingkan sebelumnya,” tuturnya.
“Membersihkan masjid yang 40 sampai 50 cm, sudah melumut dan mulai mengeras nggak bisa mulai kita dari tengah, tapi dari pinggir satu-satu.”
Isu lain yang disoroti KH Bachtiar Nasir adalah terkait sejumlah pejabat salah bicara terkait informasi bencana banjir dan longsor di Sumatera. Dia menghimbau mereka menyampaikan data-data ini secara akurat.
“Sejauh ini Alhamdulilah, Pak Gubernur Aceh, Muzakir Manaf sebagau seorang pemimpin jujur apa adanya, misalnya ketika bertemu tidak malu berkata, masyarakat Aceh meninggal bukan bencana ini, tetapi karena kelaparan,” tuturnya.
Sementara itu KH Bachtiar Nasir prihatin banyak informasi bencana banjir dan longsor Sumatera di media sosial (medsos) seperti TikTok mengendap. Jadi, masyarakat kurang melakukan bantuan.
“Di bebarapa kota tetangga seperti tidak ada apa-apa dan kota-kota besar tidak muncul keseriusan kepada para volunteer dan aktivis. Cuma menginformasikan tetapi tidak go to action harus melakukan ajakan yang kongkrit bertugas seperti apa,” ujarnya.
“Ini kondisi-kondisi keIndonesiaan dan kondisi masyarakat kita yang yang mulai rada-rada bebal dan kurang peka dan ini panjang.”
Kebutuhan Bencana Sumatera
Menyoal berbagai kebutuhan akibat dampak bencana banjir dan longsor di Sumatera, ujar KH Bachtiar Nasir, seperti cangkul, skop, dan gerobak pengangkutnya. Untuk mengangkut lumpur juga diperlukan banyak mobil ekavator dan damp truk.
“Semua masih terbatas jadi bisa dibayangkan, kalau excavator ngangkut di taroh di pinggir dari rumah keluarkan lumpur, kalau hujan balik lagi lumpur,” ucapnya.
Direktur Laznas AQL Peduli, Samade Saputra meminta dukungan keberadaan tower mobile di lokasi bencana banjir dan tanah longsor di Sumatera.
Jadi, para lembaga kemanusian di lapangan bisa saling menghubungi terkait kondisi ini dengan pihak-pihak terkait seperti antarposko.
“Kami juga berharap kepada Pertamina ada akses untuk kami dapat BBM (bahan bakar minyak), kalau kami ikut antrian akan habis waktu baik di kota Sumatera Utara atau pom bensin aktif yang ada di Aceh Tamiyang,” tuturnya.
“Para media massa juga saya minta ikut ke lapangan untuk memberitakan, jadi dukungan penyebarluasan kondisi di Aceh Tamiyang sangat penting untuk bisa menggerakkan masyarakat Indonesia bersama kami.”
Barang-barang lainnya yang diperlukan bencana banjir dan longsor di Sumatera adalah 32 ribu tenda, 50 ribu kompor gas, mesin penyedot lumpur, akses listrik untuk penerangan jalan


