
Berdaulat.id, Sewaktu remaja di kampung Padangan, Bojonegoro, Jatim, saya punya teman polisi. Ia kadang-kadang ke surau. Ia cukup akrab dengan saya. Namanya K. Ia suka nyelutuk nyuruh saya ngisi pengajian. Karena ia mendesak, aku isi pengajian di surau kecil itu sebisaku.
Tapi yang nggak bisa kulupa, kata-kata anehnya. Ia mengatakan bahwa laki-laki itu perlu variasi dalam hidupnya. Termasuk dalam beristri. Ia seperti tidak masalah dengan pelacuran. “Kalau jangan asem (sayur asem) terus, bosen,”katanya. Aku hanya tersenyum. Dalam hati aku mengatakan bahwa wah payah nih pemikiran polisi ini.
Maka, ketika remaja (SMA) dalam benakku polisi-polisi ini jarang yang baik. Apalagi aku pernah ditilang waktu naik motor. Karena aku nggak punya SIM, aku terpaksa mengeluarkan beberapa rupiah untuk polisi yang menilang itu. Dan itu kini lazim terjadi di masyarakat.
Semakin dewasa, aku melihat tidak semua polisi buruk. Ada juga polisi yang baik. Entah berapa persen. Di Depok ini aku punya tetangga –sekitar 200m jarak rumahnya dari rumahku- seorang polisi yang bertugas di Brimob Kelapa Dua yang baik. Ia rajin ikut pengajian, pertemuan warga komplek dan rajin ke masjid. Namanya aku lupa.
Aku punya pengalaman ‘ngerjain’ polisi. Suatu ketika, sehabis ngajar di Akademi Dakwah Indonesia, aku pulang. Waktu menunjukkan sekitar 11.30. Melewati pertigaan Ramanda-Margonda menuju Lenteng Agung, aku dicegat polisi. Lokasinya sebelum DMall Depok. Aku dianggap melanggar peraturan melewati ruas jalan Margonda yang khusus mobil. Aku protes. “Ini nggak bener pak, peraturannya. Masak sepeda motor nggak boleh lewat sini. Rakyat kecil nggak boleh lewat sini. Jalan hanya untuk orang kaya yang bermobil, nggak bener nih pak,”kataku. Polisi itu jawab,”Saya kan hanya menjalankan peraturan pak.” Saya kemudian menunjukkan kartu wartawan. Polisi itu akhirnya ngeluyur pergi, nyuruh saya jalan dan nggak jadi memeriksa STNK dan SIM saya.
Kasus itu pernah saya tulis di FB dan saya edarkan di grup warga Depok. Saya kirim juga ke anggota DPRD Depok. Ramai saat itu tanggapan dan dukungan pendapat saya. Kabarnya peraturan ruas jalan khusus motor/angkot dan khusus mobil pribadi itu mau dievaluasi, tapi entah mengapa sampai sekarang ‘plang peraturan’ yang bertengger di jalan Margonda itu masih berlaku. Padahal tiap hari ratusan (ribuan) motor melanggarnya.
Polisi atau tentara memang taat atasan. Saking taatnya, sehingga ketika atasannya melanggar hukum, ia kadang-kadang tetap melakukan perintahnya. Seperti yang dilakukan E terhadap J dalam kasus Ferdy Sambo.
Kasus Sambo ini menjadikan kepercayaan masyarakat kepada polisi merosot. Ramai beredar di medsos, tentang kejahatan dan berbagai pelanggaran polisi yang dilakukan di berbagai daerah. Mulai dari pemakaian narkoba, melindungi koruptor, terlibat dalam pembunuhan dan lain-lain.
Kasus Sambo ini juga menjadikan masyarakat –khususnya umat Islam- curiga, dengan kasus KM50 yang menewaskan 6 pemuda Islam (lasykar FPI). Saat itu Sambo memang bertugas untuk menangani kasus itu. Ia mengerahkan 30 anak buahnya untuk menuntaskan kasus itu.
Dengan skenario kebohongan yang dibuat Sambo di rumahnya Duren Tiga, masyarakat jadi curiga jangan-jangan Sambo juga merekayasa kebohongan dalam kasus KM50. Karena fenomenanya hampir mirip. CCTV mati, terjadi tembak menembak dan yang paling kasar, adalah TKP (rest area Km50) dihancurkan. Dengan diratakan dengan tanah TKP itu, maka saksi-saksi di warung-warung TKP itu tidak bisa dihadirkan. Juga kemungkinan ada DNA yang tertinggal di TKP itu juga hilang. Bila ini terjadi di luar negeri, tentu akan menjadi ‘skandal besar’ bagi pemerintah/kepolisian.
Tapi negeri ini bukan Inggris atau Amerika. Negeri ini hukum masih bisa ‘dipermainkan’.
Kasus itupun telah dilaporkan ke Presiden Jokowi oleh Amien Rais dan Abdullah Hemahahua. Tapi presiden hanya berkenan menerima tim Amien Rais kurang dari 15 menit. Kata Marwan Batubara, juru bicara tim itu, presiden unwilling (enggan) atau tidak berminat terhadap kasus itu. Entah apa sebabnya (ada yang menyatakan bahwa kasus KM50 ini melibatkan beberapa elit negeri ini). Padahal yang menjadi korban 6 orang.
Beda dengan kasus yang menimpa Brigadir Yosua. Presiden berulangkali mengucapkan agar kasus ini dibuka secara transparan dan terus terang. Sampai empat kali. Sehingga akhirnya Kapolri membentuk Tim Khusus. Dan tersingkaplah kebohongan-kebohongan Sambo.
Ulah presiden dan kepolisian yang diskriminatif itu, menjadikan Wakil Ketua Pertimbangan MUI, KH Muhyiddin Junaidi gusar. Ia menyatakan,”Ada kesan bahwa penanganan korban yang kebetulan beragama non Islam jauh lebih mendapatkan dukungan massive dan perhatian untuk dituntaskan. Sementara itu perlakuan berbeda terhadap kasus yang menimpa figur/tokoh Muslim.”
Kalau presiden dan kapolri adil, mestinya kasus KM50 dibuka kembali. Kebohongan yang direkayasa Sambo dalam peristiwa Brigadir Yosua, banyak yang menduga dilakukannya juga dalam kasus KM50. Bukankah ada perkataan ahli bijak yang mengatakan bahwa orang yang biasa bohong, akan selalu mengulangi kebohongannya?
Bila presiden dan kapolri tidak mau membuka kembali kasus KM50, maka jangan salah banyak umat Islam tidak percaya kepada keduanya. Umat Islam –terutama tokoh-tokohnya- harus protes terhadap hal ini.
Diksriminasi terhadap umat Islam Islam harus dihentikan. Ironis memang. Umat Islam yang jumlahnya mayoritas, dizalimi di negeri sendiri. Ormas-ormas Islam yang dituduh radikal dibubarkan, tokoh-tokohnya banyak yang ditangkapi dan banyak yang dituduh anti Pancasila.
Maka, dari kalangan umat banyak yang berharap terjadi perubahan di 2024. Pemilu 2024 harus jurdil. Bila tidak, entah apa yang terjadi di negeri ini. Umat banyak berharap agar nanti dapat terpilih presiden dan kapolri yang mempunyai sikap adil. Tidak zalim terhadap umat Islam yang mempunyai andil sangat besar dalam kemerdekaan negeri ini.
Kembali kepada masalah polisi. Banyaknya polisi yang berkelakuan tidak baik, maka nampaknya perlu ditinjau ulang pendidikan di kepolisian. Pendidikan akhlak harus lebih ditingkatkan lagi di kepolisian. Tugas kepolisian yang mengayomi rakyat, harus benar-benar dilaksanakan. Senjata dan penjara, harus benar-benar diperuntukan bagi mereka yang berbuat jahat. Polisi harus adil, tidak zalim. Bila zalim (melanggar hukum) bahaya, karena mereka memegang senjata dan penjara.
Kita ketahui, baik di Indonesia maupun luar negeri, ada ‘good cop’ dan ‘bad cop’. Menjadi polisi yang baik tidak mudah. Sehingga seorang penulis Barat, Thomas Hauser menyatakan,”Being a good police officer, is one of the most difficult, dangerous, idealistic jobs in the world.”
Ini bukan berarti tidak mungkin melahirkan banyak polisi yang baik. Pembenahan sistem di kepolisian, khususnya pendidikan akhlak harus dilakukan untuk melahirkan polisi-polisi yang baik. Dan terutama atasannya, yaitu presiden yang harus memerintahkannya.
Pemerintah ini mungkin bisa ‘husnul khatimah’ bila mau membuka kembali seterang-terangnya peristiwa KM50. Bila tidak, entah apa yang terjadi. Rasulullah mengingatkan,”Takutlah kalian terhadap doa orang yang dizalimi. Karena sesungguhnya tidak ada penghalang antara doanya dengan Allah.” (HR Bukhari Muslim). II Nuim Hidayat, Dosen Akademi Dakwah Indonesia Depok