Kamis, September 25, 2025
No menu items!
BerandaArtikelMudik dan Adab-Adab Safar

Mudik dan Adab-Adab Safar

Mudik merupakan salah satu tradisi yang sangat lekat dengan peyaraan hari Raya Idul Fitri di tanah air.  Secara harfiah mudik memiliki dua asal usul etimologis. 1. Mudik bermakna  berlayar, pergi ke udik (hulu sungai, pedalaman); 2  pulang ke kampung halaman: seminggu menjelang Lebaran. Jadi mudik identik dengan pulang kampung menjelang lebaran. Kalau pulang kampung pada waktu lain biasanya orang jarang menggunakan kata mudik.

Tulisan ini tidak akan mengulas seluk beluk mudik beserta berbagai pernak perniknya. Tapi hanya akan menjelaskan salah satu aspek yang identik dengan mudik dan atau merupakan bagian dari mudik, yaitu safar atau perjalalan jauh. Walau safar bukan hanya mudik mudik belum tentu safar, tapi keduanya memiliki hubungan dan keterkaitan. Orang mudik umumnya melakukan dan atau menempuh perjalanan yang masuk kategori safar.

Dalam Islam terdapat fikih dan adab khusus berkenaan dengan safar. Islam mengatur adab dan etika safar karena Islam adalah Dien yang tidak hanya mengatur urusan ibadah mahdhah ritual saja. Tapi Islam merupakan sistem hidup yang menata seluruh sisi dan aspek kehidupan. Salah satu aspek kehidupan yang akrab dalam hidup sehari-hari adalah safar atau melakukan perjalanan jauh. Safar pada asalnya merupakan aktivitas hidup duniawi, namun jika diniatkan ibadah dan dilakukan berdasar panduan Islam dapat bernilai ibadah dan mendatangkan pahala.

Maksa Safar dan Batasannya

Secara bahasa, safar bermakna membuka atau menyingkap. Secara istilah Para Ulama mendefiniskkan safar dengan keluar dari negeri tempat bermukim menuju suatu tempat dengan jarak tempuh tertentu yang membolehkan seseorang untuk meng-qasar atau men-jama’shalatnya.

Bepergian dinamai safar karena dapat menyingkap wajah dan akhlaq [asli] para musafir. Sehingga saat safar, sifat-sifat asli yang tersembunyi saat muqim menjadi nampak dan terlihat. (Lisanul Arab 4/368). Makna safar seperti ini diriwayatkan pula dari Amirul Mu’minin Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu.

Mengenai batasan safar seperti dimaksud dalam definisi di atas, para ulama berbeda pendapat. Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullah menyebutkan sekitar 20 pendapat dalam masalah ini. (Subulus Salam, 3/109).

Diantara ulama ada yang mengaitkannya dengan jarak. Adapula mengaitkannya dengan jarak tempuh perjalanan sehari semalam dan tiga hari tiga malam, dan ada yang mengembalikannya pada ‘urf. Pendapat yang disebut terakhir tidak membatasi dengan jarak tempuh tertentu, tapi pada pandangan atau kebiasaan suatu masyarakat. Artinya, selama masyarakat di suatu daerah/negeri menganggap suatu perjalanan tertentu sebagai safar, maka ia tergolong safar syar’i yang membolehkan mengqashar shalat, meski jaraknya dibawah 85 km atau dibawah jarak temph sehari semalam.

Pendapat ini dipilih oleh Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah. Alasannya adalah dalam al-Qur’an kata safar disebutkan secara mutlak tanpa pembatasan dan perincian jarak tempuh tertentu. Beliau mengatakan, “Tidak ada dasar yang jelas untuk menentukan batasan jarak safar. Karena menetapkan batasan jarak safar membutuhkan nash (dalil) yang datang dari Allah Ta’ala atau Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Keringanan Bagi Musafir

Safar merupakan sesuatu yang melelahkan fisik. Rasul menyebutnya sebagai sepenggal dari adzab. Sebagimana dalam hadits;

السَّفَرُ قِطْعَةٌ من الْعَذَابِ يَمْنَعُ أَحَدَكُمْ نَوْمَهُ وَطَعَامَهُ وَشَرَابَهُ فإذا قَضَى أحدكم نَهْمَتَهُ فَلْيُعَجِّلْ إلى أَهْلِهِ

Safar adalah bagian dari adzab (siksa). Ketika safar salah seorang dari kalian akan sulit makan, minum dan tidur. Jika urusannya telah selesai, bersegeralah kembali kepada keluarganya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Makna  hadits tersebut adalah, “Seseorang terhalangi dari kelezatan dan kenikmataan makan, minum, dan tidurnya yang disebabkan oleh kesulitan, rasa letih, cuaca panas, dingin, rasa takut dan was-was serta perpisahan dengan keluarga dan kawan karib” (Imam Nawawi, Syarh Shahih Muslim 13/70)

Imam al-Juwaini rahimahullah pernah ditanya tentang sebab penyebutan safar sebagai potongan dari adzab, “karena musafir berpisah dengan orang-orang yang dicintainya”, jawabnya.

Oleh karena itu ada beberapa keringanan (rukhshah) yang diberikan oleh syari’at kepada orang yang dalam perjalanan (musafir). Diantara rukshah tersebut adalah;

1. Meng-qashar Shalat

Musafir  mendapatkan keringanan untuk meng-qashar shalat. Yakni meringkas shalat yang empat raka’at menjadi dua raka’at. Keringanan meng-qashar shalat diterangkan oleh Allah dalam surah An-Nisa ayat 101;

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا ۚ

Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir.

Ayat diatas adalah dalil dibolehkannya mengqashar shalat saat safar. Meski secara literal ayat tersebut mengaitkan safar dengan takut terhadap serangan orang kafir, namun kebolehan qashar saat safar berlaku umum karena ia merupakan rukshah dari Allah. Imam Muslim meriwayatkan bahwa Ya’la bin Umayyah pernah menanyakan ayat tersebut kepada Amirul Mu’minin Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu. “maka tidaklah mengapa kamu men-qashar shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir”. Saat ini orang-orang telah merasa aman. Umar berkata, ‘Aku juga pernah heran seperti kamu. Tapi saya pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal itu. Rasul menjawab;

صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ الله بها عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ

Itu adalah sedekah yang diberikan Allah kepadaa kalian, maka terimalah sedekahnya” (HR. Muslim)

Oleh karena itu, meskipun safar yang dilakukan penuh dengan kemudahan dan kenyamanan, keringanan tersebut tetap berlaku. Bahkan hendaknya seseorang tetap mengambil keringanan itu. Karena itulah yang lebih afdhal dan lebih dicintai oleh Allah. Namun jika shalat (berma’mum) di belakang Imam muqim yang shalat sempurna (4 raka’at) Musafir wajib mengikuti Imam, sehingga ia tetap shalat sempurna. Hal ini berdasar pada dalil tentang kewajiban mengikuti Imam.

2. Menjamak  Shalat

Selain qashar shalat, musafir juga mendapat keringanan dalam shalat berupa jama’. Yakni menggabungkan dua shalat menjadi satu yang dikerjakan pada satu waktu di awal atau di akhir. Shalat yang dijamak adalah shalat yang 3 dan 4 raka’at, yakni dzuhur-ashar dan magrib-isya.

Dalil tentang jama’ diterangkan dalam hadits-hadits nabawi, diantaranya hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma. Beliau berkata, “Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika terburu-buru dalam perjalan, maka beliau mengakhirkan shalat maghrib dan menjama’ dengan shalat ‘isya” (Terj. HR. Bukhari & Muslim).

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa, “Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai perjalanan sebelum matahari tergelincir, beliau mengakhirkan shalat dzuhur pada waktu ‘ashar dan menjama’nya. Dan jika berangkat setelah tergelincir matahari, beliau shalat dzuhur terlebih dahulu kemudian berangkat” (Terj. HR. Bukhari & Muslim)

Dalam hadits yang diriwayatkan Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, beliau menuturkan, “Kami keluar bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam –perjalanan- perang Tabuk. Saat itu beliau shalat dzuhur dan ‘ashr secara jama’ serta maghrib dan isya secara jama’ pula”. (Terj. HR. Muslim).

3. Tidak berpuasa Ramadhan

Jika seseorang melakukan safar pada bulan Ramadhan, maka ia memperoleh keringanan untuk tidak berpuasa. Sebagai gantinya, ia mengqadha puasa yang ditinggalkan tersebut pada hari lain di luar Ramadhan sejumlah hari yang ditinggalkannya. Sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam surah al-Baqarah ayat 184;

وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ]

dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menuturkan tentang berbukanya Rasulullah dalam perjalanan pada bulan Ramadan;

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ إِلَى مَكَّةَ فِي رَمَضَانَ فَصَامَ حَتَّى بَلَغَ الْكَدِيدَ أَفْطَرَ فَأَفْطَرَ النَّاسُ

“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi menuju Makkah pada bulan Ramadhan dalam keadaan berpuasa. Ketika sampai di daerah Kadid, Beliau berbuka yang kemudian orang-orang turut pula berbuka. (HR. Bukhari)

Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganggap, “memaksakan diri” tidak termasuk kebaikan (al-birr). Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada dalam suatu perjalanan. Lalu beliau melihat orang-orang berdesak-desakan. Di sana ada seorang pria dinaungi orang-orang karena kelihatan lemah. “Ada apa dengannya?” tanya Rasul. “Ia sedang puasa”, jawab para sahabat. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;

ليس من الْبِرِّ أَنْ تَصُومُوا في السَّفَرِ

“Tidak termasuk kebaikan puasa saat safar” (HR. Muslim)

Dalam riwayat lain;

عَلَيْكُمْ بِرُخْصَةِ اللَّهِ الذي رَخَّصَ لَكُمْ

Hendaknya kalian mengambil rukhshah yang diberikan Allah kepada kalian”

Namun jika musafir berpuasa, maka puasanya tetap sah, dan tidak berkewajiban mengqadha. Bahkan sebagian Ulama berpendapat bahwa jika seseorang memperoleh kemudahan dalam safarnya, maka yang afdhal baginya adalah tetap berpuasa. Karena hal itu lebih cepat melepaskan bebannya. Selain itu hadits lain dijelaskan bahwa Rasulullah kadang berpuasa saat safar, dan kadang pula tidak berpuasa. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat safar terkadang berpuasa dan kadang berbuka. Maka siapa yang ingin tetap berpuasa, dipersilahkan. Dan siapa yang ingin berbuka juga dipersilahkan”. (HR. Bukhari)

Dari Abu Darda’radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan, “Kami pernah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beberapa safarnya pada hari yang terik. Sehingga ketika itu orang-orang meletakkan tangannya di kepalanya karena cuaca yang sangat panas. Di antara kami tidak ada yang berpuasa. Hanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Ibnu Rowahah yang berpuasa ketika itu.” (HR. Bukhari & Muslim)

4. Membasuh Khuf (Sepatu Bot) Sampai Tiga Hari

Orang safar juga mendapat keringanan mengusap khuf saat wudhu. Yakni saat berwudhu, tidak perlu melepas sepatu saat akn cuci kaki. Tapi cukup mengusap sepatu bot (khuf) yang dikenakan. Dengan syarat sepatu tersebut dikenakan dalam keadaan suci setelah berwudhu. Keringanan mengusap khuf bagi musaafir berlaku sampai tiga hari. Setelah lewat tiga hari, maka sepatu dilepas lalu berwudhu lagi dengan mencuci kaki. Setelah itu dapat dibasuh kembali saat wudhu.

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata,

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan mengusap khuf selama tiga hari tiga malam bagi musafir dan sehari semalam bagi orang muqim” (Terj. HR. Muslim).

5. Tidak Wajib Menunaikan Shalat Jum’at

Musafir mendapat keringanan meninggalkan shalat jum’at. Namun tetap wajib menunaikan shalat dzuhur Karena shalat Jum’at hanya diwajibkan kepada laki-laki dewasa dan muqim. Segaimana dalam hadits

Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Tidak ada kewajiban shalat Jum’at bagi musafir”. Bahkan Ibnu Abdil barr menukil ijma’ tentang hal itu dalam kitabnya al-Istidzkar.

Syakhul Islam Ibn Taimiyah mengatakan, “ . . .Yang tepat adalah madzhab jumhurus Salaf dari kalangan Imam Madzhab yang empat dan yang lainnya, bahwa musafir tidak wajib shalat Jum’at“ (Majmu’ Fatawa 17/480).

Namun jika musafir menunaikan shalat jum’at, maka shalatnya sah. Tetapi tidak menjama’ jum’at dengan asar. Ia harus menunaikan shalat asar pada waktunya secara qashar (dua raka’at). Karena asar dijama’ dengan dzhur. Sebab lainnya karena shalat jum’at merupakan shalat tersendiri dan terpisah serta berbeda dengan dzuhur. Shalat jum’at memiliki hukum-hukum khusus yang berbeda dengan dzuhur seperti bacaan jahriyah, jumlah raka’at dua, serta didahului dua khutbah. Sementara dzuhur empat raka’at, bacaan sirriyah, dan tanpa khutbah. (Lihat: Syarhul Mum’thi’ 17/480).

6. Boleh Melakukan Shalat Sunnah Di Atas Kendaraan

Musafir boleh melakukan shalat sunnah semisal qiyamul Lail, witir, dhuha, dan sunnah-sunnah lainnya dalam kendaraan kemanapun kendaraan tersebut mengarah dan menghadap. Ini berdasarkan hadits Sa’id bin Yasar. Beliau menuturkan, aku pernah bepergian pada waktu malam Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma menuju Makkah. Tatkala aku khawatir waktu subuh akan masuk, akun turun dari kendaraan menunaikan shalat witir. Lalu aku menyusul Ibnu Umar. “Kamu dari mana saja?”, tanya Ibnu Umar. “Aku khawatir waktu subuh akan masuk, sehingga aku turun menunaikan shalat witir”. “Bukankah pada dirimu terdapat teladan yang baik pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?” tanya Ibnu Umar lagi. “Tentu”, jawabku. Ibnu Umar mengatakan, “Sesungguhnya Rasulullah shallallhu ‘alaihi wa sallam pernah shalat witir di atas Onta”. (Terj. HR Bukhari & Muslim).

Ibnu Umar juga meriwayatkan bahwa “Rasulullah shallalhu ‘alaihi wa sallam shalat saat safar di atas kendaraannya. Beliau shalat lail dan shalat witir. Kecuali shalat fardhu (beliau tidak lakukan diatas kendaraan).

Shalat di atas kendaraan dapat dilakukan dengan menghadap sesuai arah kendaraan. Namun lebih afdhal lagi kalau awalnya menghadap arah kiblat, walaupun setelah itu berubah arah. Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma berkata;

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُصَلِّى عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ ، فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيضَةَ نَزَلَ فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat sunnah di atas kendaraannya dengan menghadap searah kendaraannya. Namun jika ingin melaksanakan shalat fardhu, beliau turun dari kendaraan dan menghadap kiblat”. (HR. Bukhari).

7. Meninggalkan Shalat Sunnah Rawatib Kecuali Qabliyah Subuh

Seorang Musafir juga memperoleh keringananan boleh meninggalkan shalat sunnat rawatib (qabliyah dan ba’diyah). Kecuali shalat sunnah qabliyah subuh, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah sama sekali meninggalkannya, baik saat safar apalagi muqim. Berkenaan dengan hal ini Imam Ibnul Qayyim mengatakan, “Di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersafar adalah mengqashar shalat fardhu dan tidak mengerjakan shalat sunnah rawatib qabliyah dan ba’diyah. Yang biasa beliau tetap lakukan adalah shalat witir dan shalat sunnah qabliyah shubuh. Beliau tidak pernah meninggalkan kedua shalat ini baik ketika bermuqim dan ketika bersafar.” (Zaadul Ma’ad, 1/456).

Dr. Syamsuddin Lahanufi M. Pdi
Dr. Syamsuddin Lahanufi M. Pdi
Dr. Syamsuddin Lahanufi, M. Pdi. adalah penulis aktif yang juga merupakan pimpinan Pesantren Tahfidz Wahdah Islamiyah Bogor, dosen di STAIA Bogor dan pengurus MUI Pusat Komisi Pendidikan & Kaderisasi. Gelar Doktor diraihnya di Pascasarjana Universitas Ibnu Khaldun Bogor pada 25 Februrari 2020
RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Most Popular

Recent Comments