
Oleh: Dr. Adian Husaini (Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)
Dalam sejarah perkaderan di kalangan pemuda Katolik di Indonesia, dikenal satu model perkaderan bernama ”Khasebul” (khalwat sebulan). Program ”Khasebul” dikonsep dan dipimpin langsung oleh Pater Beek SJ, seorang pastor Katolik asal Belanda.
Menurut Pater Beek, kader adalah orang yang ”bisa menggetarkan dunia”; ”merombak keadaan masyarakat dengan kelompok kecil”, ”menjadi tulang punggung masyarakat”, ”menjadi inti dalam suatu lingkungan masyarakat”.
Menjadi kader, menurut Pater Beek, berarti menjadi sesuatu yang lain dari yang lain; keranjingan dalam menjalankan apa yang dipikirkan dalam batas-batas yang ditentukan moral dan etika. Menjadi kader berarti menjalankan apa yang sudah direncanakan dengan matang.
Dr. Soedjati Djiwandono, seorang kader Pater Beek, menekankan, ”Seorang yang mengaku kader bukanlah kader. Ia tidak menuntut jabatan atau kedudukan apa pun untuk dirinya dan oleh karena itu jumlahnya sedikit.” (Lihat, J.B. Soedarmanta, Pater Beek SJ: Larut tetapi tidak Hanyut, (Jakarta: Penerbit Obor, 2008), hal. 181-182.
Sebagai seorang pastor sekaligus pendamping aktifis dan mahasiswa, Pater Beek dikenal sebagai seorang mentor yang keras dan tegas. Dengan sistem kaderisasai ala Pater Beek yang dikenal dengan nama Khasebul atau Khalwat Sebulan, para mahasiswa aktifis dibina dan didiknya menjadi kader militan.
Dalam waktu sebulan ini, sang kader akan dididik tentang iman Katolik sekaligus menjadi pejuang Kristen yang bisa diandalkan. Sistem kaderisasi ini dimulai sejak akhir tahun 1966. Salah satu kisah yang paling tersohor ketika Pater Beek menguji kesetiaan, keteguhan dan semangat seorang calon kader adalah ketika sang kader disuruh mencari cincin kepastoran yang dilemparkannya sendiri di sebuah kolam ikan berlumpur selama seharian penuh.
JB Soedarmanto menulis bahwa pendidikan selama satu bulan ini pada dasarnya adalah pendidikan kerohanian dengan menitikberatkan pada doa dan meditasi, ditambah dengan pengenalan situasi kongkret dalam masyarakat, di mana para mahasiswa itu nanti akan terjun terlibat, dan diperkaya dengan ajaran sosial Gereja Katolik. Misalnya penerapan Ensiklik Rerum Novarum.
Para peserta training dipilih dengan seleksi yang ketat. Biasanya para peserta terdiri dari para mahasiswa yang memiliki motivasi tinggi, aktivis, serta pemuda dari daerah yang direkomendasikan oleh para pastor dan uskup. Menurut beberapa bekas peserta training Khasebul, seseorang yang direkrut untuk mengikuti program ini tidak boleh menceritakan kepada siapa pun tentang training itu, bahkan termasuk kepada keluarga maupun kepada kawan mereka.
Para peserta yang gagal dan dipulangkan pun tak boleh menceritakan semua pengalamannya. Selama training, nama peserta diganti, sehingga para peserta tidak dapat mengetahui identitas sebenarnya masing-masing. Para peserta training juga dites psikologi untuk mengetahui talenta masing-masing. Tes psikologi ini sangat penting untuk untuk penugasan di masa mendatang dari para peserta, setelah training itu berakhir.
Dr. Mujiburrahman, dalam disertasinya berjudul Feeling Treathened. Muslim-Christian Relations In Indonesia’s New Order. International Institute for the Study of Islam in the Modern World (ISIM), (Nederland: Amsterdam University Press, 2006), mengutip penjelasan seorang bekas peserta training menjelaskan bahwa tes psikologi itu sangat dapat dipercaya. Narasumber itu diberitahu setelah tes psikologi bahwa ia akan menjadi seorang penulis yang baik, dan hal itu pun menjadi kenyataan.
Selama program Khasebul berlangsung, para peserta dilatih kemampuan kepemimpinannya, cara berbicara di depan umum, menulis, dinamika kelompok dan analisis sosial. Bagian paling istimewa dari program ini adalah metode Pater Beek dalam mendisiplinkan para peserta training itu.
Bahkan menurut keterangan beberapa bekas peserta Khasebul kepada Mujiburrahman, hukuman kepada para peserta yang tidak bisa melaksanakan penugasan Pater Beek sangat keras. Dalam salah satu catatan akhirnya, Mujiburrahman menuliskan bahwa seorang narasumber mengatakan bahwa dirinya pernah dihukum dengan cara diikat di kursi, lalu dimasukkan ke dalam sebuah ruang gelap.
Training pendisiplinan diri ini tampaknya dirancang untuk membentuk para peserta training Khasebul menjadi seorang kader yang militan, handal, penuh percaya diri sekaligus loyal. Kadang-kadang, para peserta Khasebul diwajibkan untuk berpuasa seharian dan berdoa sepanjang malam. Pater Beek sendiri ikut berpuasa, dan berdoa bersama mereka.
Pengalaman kaderisasi model Khasebul ala Pater Beek itu perlu kita pahami sebagai satu tempat untuk kita mengevaluasi, sejauh mana kaderisasi para pemuda muslim dalam soal kedisiplinan dan komitmen perjuangan mereka. Di kalangan Katolik sendiri ada yang tidak setuju dengan model perkaderan Khasebul itu. Sejumlah alumninya juga dikabarkan mengundurkan diri.
Di kalangan muslim pun pernah ada sejumlah model kaderisasi yang serus untuk menyiapkan kader-kader dai. Saya pernah menulis dua seri artikel tentang dai-dai daerah Transmigrasi Batumarta Sematera Selatan. Mereka detraining selama 40 hari di Pesantren Darul Fallah Bogor. Training itu langsung dipimpin oleh Mohammad Natsir. Setelah itu para dai dikirim ke daerah tertentu di pelosok, tanpa dibekali uang yang memadai. (Lihat:
Catatan Akhir Pekan Mujahid-mujahid Batumarta
Seorang Ustad di Bogor asal Lamongan peserta Program kaderisasi 40 hari di Darul Fallah Bogor, bercerita, bahwa begitu selesai training 40 hari, ia dikirim ke daerah perbatasan Kalimatan Utara. Itu daerah hutan belantara. Padahal, saat itu sang ustad baru lulus Madrasah Aliyah.
Model-model kaderisasi kreatif semacam ini perlu dikaji kembali untuk diaktualisasikan dalam kondisi saat ini. Sebab, begitu banyak saat ini, sarjana-sarjana agama lulusan pendidikan agama tingkat S-1, tetapi tidak mau dan tidak mampu menjadi dai di daerah-daerah. Semoga artikel singkat ini bisa kita renungkan lebih dalam lagi! (**).