Berdaulat.id – Pemilihan calon penerima dana program organisasi penggerak (POP) yang ditetapkan Menteri Nadiem menuai masalah. Muhammadiyah dan LP Maarif NU menyatakan mengundurkan diri dari program organisasi penggerak (POP) yang ditetapkan Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim.
“Wajar karena tidak diberi pengakuan atau rekognisi secara memadai,” kata anggota Komisi X DPR RI Zainuddin Maliki, dalam keterangan pers yang diterima wartawan, Kamis (23/7/20).
Zainuddin menuturkan, Persyerikatan Muhammadiyah dan LP Maarif NU telah mengabdi sejak negeri ini belum merdeka. Tidak sulit untuk mendapatkan rekam jejaknya. Portofolionya di bidang pendidikan yang luar biasa, telah menyelamatkan wajah negara yang tidak sepenuhnya bisa hadir memberi layanan pendidikan yang dibutuhkan masyarakat.
Tangisan Teara yang kemarin viral (22/7/20) misalnya, harusnya bisa dijadikan bahan rekognisi. Perjuangannya untuk tetap bisa kuliah ia lakukan daring di pinggir jalan karena kesusahan sinyal mendapatkan empati dari Rektor, Dekan FEB dan Kaprodi Universitas Muhammadiyah Magelang.
“UM Magelang yang datangi rumah Teara dan berikan tali asih ,” ungkapnya.
“Seharusnya Menteri Pendidikan tahu hal seperti itu dan menjadikannya bahan penilaian. Tetapi aneh, pengakuan atau rekognisi seperti itu tidak tampak, sehingga untuk POP ini, ormas seperti Muhammadiyah dan NU tidak lebih dipercaya, misalnya daripada Tanoto Foundation dan Sampoerna Foundation yang baru berdiri sekitar lima tahun terakhir,” ungkap legislator asal Dapil Jatim X, Gresik-Lamongan itu.
Seleksi tanpa didasari penilaian rekognisi yang baik itu juga terlihat dalam mengevaluasi usulan Universitas Muhammadiyah (Unimuda) Sorong. Perguruan tinggi ini selama 6 tahun bersama UNICEF memberi pendidikan dan pelatihan kepala sekolah, guru, komite, orang tua dan siswa didik, terutama di daerah pinggiran dan terisolir, terkait manajemen berbasis sekolah. Juga pelatihan literasi, lifeskill dan berbagai teknik instruksional.
Unimuda dengan UNICEF juga melakukan Community Based Holistic and Integrative ECD-Early Childhood Development, MBS bagi Kepala Sekolah, hingga Community Development.
“Persis sama bahkan bisa jadi lebih baik dari yang akan dilakukan oleh POP,” ungkap penulis buku Sosiologi Pendidikan ini.
“Tetapi karena rekam jejak Unimuda itu tidak masuk peta rekognisi Kemendikbud, proposal yang notabene disusun bersama UNICEF itupun tidak lolos,” tambahnya.
Di samping penetapan ormas penerima POP yang tidak dilandasi rekognisi yang baik, menurutnya, program guru penggerak itu sendiri juga mengkhawatirkan. Masalahnya dana lebih setengah triliun itu digunakan untuk melatih guru yang sudah berkualifikasi khusus.
“Tanpa kualifikasi khusus tidak mungkin direkrut jadi guru penggerak. Dengan demikian sebenarnya yang mereka latih dan danai adalah guru yang sudah bergerak,” ungkapnya.
Menurutnya, mestinya yang harus dipikirkan adalah justru guru yang masih harus digerakkan.
“Antara lain guru yang belum bersertifikat pendidik,” ungkapnya.
Lebih 1,5 juta guru yang belum bersertifikat pendidik. Seharusnya, kata dia, Menteri Nadiem menjadikan mereka titik tolak dalam melakukan transformasi guru, sehingga urgen untuk dijadikan prioritas alokasi anggaran besar. Ibarat memperkuat mata rantai, maka titik rantai yang paling lemah yang diperkuat, bukan menguatkan yang sudah kuat.
“Oleh karena itu jalan transformasi guru akan lebih efektif jika Mendikbud merefokusing anggaran POP untuk sertifikasi guru dan penting juga anggaran untuk siswa beli pulsa,” pungkasnya. []