Kamis, September 25, 2025
No menu items!
BerandaBerita UtamaJubir Rakyat : Melawan Konsolidasi Oligarki

Jubir Rakyat : Melawan Konsolidasi Oligarki

Dua Tahun Pemerintahan Jokowi – Ma’ruf Amin

Fadli Zon

Berdaulat.id, Hari ini, 20 Oktober 2021, bertepatan momen dua tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden K.H. Ma’ruf Amin, saya meluncurkan buku berjudul “Jubir Rakyat: Melawan Konsolidasi Oligarki”. Buku setebal 453 halaman ini terbagi ke dalam 10 bab, berisi catatan-catatan kritis saya kepada pemerintah sejak Oktober 2019, ketika pasangan Jokowi-Ma’ruf dilantik.

Kenapa judulnya “Jubir Rakyat”?

Sebagai anggota parlemen, tugas saya adalah “le parle”, alias berbicara. Tentu, tak boleh asal berbicara. Apa yang saya suarakan sebagai anggota parlemen, setidaknya harus bertolak dari dua prinsip, yaitu pertama menyuarakan pikiran dan kegelisahan masyarakat; dan kedua, dilakukan untuk tujuan checks and balances, atau mengawasi cabang kekuasaan lain, terutama eksekutif. Dengan kata lain, tugas anggota parlemen adalah menjadi juru bicara rakyat, mengamplifikasi suara publik. Itu sebabnya, buku ini saya beri judul “Jubir Rakyat”.

Saya berpandangan bahwa parlemen bukanlah lembaga penasihat Presiden, apalagi lembaga pendukung Presiden. Konstitusi kita mengadakan parlemen justru untuk mengawasi, mengawal, serta mengontrol pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden. Sehingga, jika lembaga parlemen, atau anggota parlemen gagal untuk bisa bersikap kritis terhadap pemerintah, kita sebenarnya sedang menarik jarum jam kembali ke belakang, mungkin lebih terbelakang dari posisi Volksraad di masa kolonial dulu.

Sebab, anggota Volksraad saja dulu bisa bersikap kritis terhadap Belanda. Orang-orang seperti Soetardjo Kartohadikoesoemo, atau Mohammad Husni Thamrin, misalnya, dikenal sebagai para vokalis yang sangat kritis terhadap pemerintah kolonial.

Kenapa “Melawan Konsolidasi Oligarki”?

Secara umum saya melihat periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo ini sebagai periode konsolidasi oligarki. Agenda-agenda serta kebijakan yang diusung khususnya di bidang ekonomi sebagian besar ditujukan melayani kepentingan oligarki, bukan melayani kepentingan rakyat. Situasi pandemi, alih-alih menghambat konsolidasi oligarki, saya lihat justru malah mengakselerasi konsolidasi tersebut.

Dalam catatan saya, ada sejumlah kebijakan besar di periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo ini yang bersifat mengkonsolidasi kekuasaan oligarki. Melalui kebijakan-kebijakan ini, eksekutif memperbesar kewenangannya untuk “melayani oligarki” sembari menggerogoti fungsi kewenangan parlemen.

Kebijakan yang melayani kepentingan oligarki itu, secara brutal dan mencolok, ada tiga.

Pertama, omnibus law Cipta Kerja. Ini adalah undang-undang yang brutal, karena telah memberi Presiden kekuasaan legislasi yang sangat besar, sehingga bisa mengubah 79 undang-undang sekaligus. Spektrum persoalan yang dijangkaunya juga sangat luas. Bayangkan, undang-undang ini terdiri dari 11 kluster, mengatur mulai dari soal perizinan usaha, koperasi, investasi, ketenagakerjaan, fiskal, tata ruang, agraria, lingkungan hidup, konstruksi dan perumahan, kawasan ekonomi, hingga soal barang dan jasa.

Meskipun judulnya adalah “Cipta Kerja”, namun isinya tak lain sekadar melayani kepentingan para pemilik modal dan oligarki yang menjadi kroni. Berbagai kemudahan yang ditawarkan oleh undang-undang tersebut bukanlah menjadi milik para pekerja, atau pencari kerja, melainkan milik para oligark yang saat ini menguasai perekonomian kita.

Kedua, Perppu Corona. Perppu No. 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/Atau Stabilitas Keuangan, atau yang sering disebut sebagai Perppu Corona, telah memberi kekuasaan penganggaran yang sangat besar kepada Presiden dan memberi hak impunitas kepada para pejabat di sektor keuangan.

Sayangnya, di tengah-tengah pandemi, kekuasaan penganggaran serta pelonggaran defisit APBN yang lebih besar ini, bukannya digunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat, porsi terbesar justru digunakan untuk oligarki.

Pada tahun 2020, misalnya, dari tambahan belanja dan pembiayaan APBN sebesar Rp405,1 triliun untuk penanganan dampak Covid-19, insentif perpajakan dan program pemulihan ekonomi nasional besarannya mencapai Rp220,1 triliun, atau sekitar 54,3 persen dari total tambahan belanja tadi. Kita hendak mengatasi darurat kesehatan, tapi belanja terbesar pemerintah justru dialokasikan untuk memberi insentif kepada para pengusaha. Pada saat yang sama, pemerintah malah memangkas anggaran kesehatan dari Rp212,5 triliun di tahun 2020 menjadi Rp169,7 triliun pada APBN 2021.

Hingga kini, polanya juga masih belum berubah. Tahun ini, misalnya, pemerintah lebih memilih untuk menggunakan Silpa (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran) APBN 2020 untuk membiayai proyek kereta cepat daripada menolong 9 juta peserta JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) yang terancam kehilangan status sebagai penerima bantuan iuran (PBI) dari negara.

Jadi, rakyat yang sudah ditimpa kesulitan ekonomi, tak mendapat bantuan jaminan kesehatan, karena anggaran publik kita lebih suka digunakan pemerintah untuk melayani kepentingan oligarki.

Dan ketiga, agenda pemindahan ibukota negara. Di tengah-tengah pandemi, defisit fiskal, defisit APBN, serta jumlah utang yang terus melonjak, pemerintah terus-menerus melontarkan wacana pemindahan ibukota. Kalau dulu saya bertanya ‘dari mana anggarannya’, maka sesudah saya pelajari lebih jauh wacana ini, pertanyaan yang tepat sebenarnya adalah: ke mana dan kepada siapa pemerintah akan memberikan aset-aset negara yang di Jakarta dan sekitarnya?!

Banyak orang lupa, lepas dari soal apakah ibukota negara nantinya akan benar-benar bisa dipindahkan atau akan jadi proyek mangkrak, di belakangnya ada agenda untuk mengalihkan aset-aset negara, baik berupa gedung, atau lahan, terutama yang ada di Jakarta, kepada pihak lain. Ini yang berbahaya, karena potensi penyelewengannya sangat besar sekali.

Kalau kita baca draf RUU Ibukota Negara, jelas disebutkan bahwa terkait dengan agenda pemindahan ibukota, maka semua aset berupa gedung-gedung perkantoran yang selama ini digunakan oleh Kementerian atau lembaga negara, akan dialihkan pengelolaannya kepada Menteri Keuangan. Selanjutnya, Menteri Keuangan bisa melakukan dua mekanisme kepada aset-aset tadi, yaitu menjual, atau menyewakannya.

Saya melihat, pola semacam ini akan kembali mengulangi tragedi BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) di masa lalu. Pada mulanya negara menguasai aset BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) yang sangat besar di tangan BPPN, lalu aset-aset itu dijual kembali kepada konsorsium asing dan swasta dengan harga di bawah harga pasar.

Jadi, pertanyaan publik kini harus berubah: apakah tujuan pemindahan ibukota negara adalah untuk memindahtangankan aset-aset negara yang ada di Jakarta? Kepada siapa aset-aset itu akan dialihkan?

Itulah konsolidasi oligarki yang terjadi di tengah-tengah pandemi. Sungguh tragis dan ironis.

Sekali lagi, tugas parlemen bukanlah menjadi stempelnya pemerintah. Tugas parlemen adalah mengawasi dan mengontrol pemerintah. Buku ini bisa dianggap sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban saya sebagai anggota parlemen. Menghadapi konsolidasi oligarki tadi, dengan segala keterbatasan, sebagai wakil rakyat, maka saya harus selalu berada di sisi rakyat, berpihak pada rakyat, menjadi juru bicara rakyat.

Simak selengkapnya di Youtube Fadli Zon Official :
https://youtu.be/cJbS0yNBxec

Jakarta, 20 Oktober 2021

—Dr. Fadli Zon, M.Sc.
Anggota DPR RI, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Most Popular

Recent Comments