Berdaulat.id, Jakarta, 7 Maret 2025 – Indonesia Police Watch (IPW) menyatakan dukungan penuh terhadap kebijakan Presiden Prabowo Subianto dalam pemberantasan korupsi sebagaimana tertuang dalam Asta Cita. IPW juga menegaskan bahwa Kejaksaan Agung (Kejagung) harus bekerja profesional dan tidak tebang pilih dalam menangani kasus dugaan Tindak Pidana Korupsi Tata Kelola Minyak Mentah dan Produk Kilang pada PT. Pertamina (Persero), Sub Holding, dan Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) Tahun 2018–2023.
Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso, mengingatkan agar Kejagung menemukan dalang utama di balik mega korupsi tersebut dan tidak malah melakukan penyalahgunaan kewenangan dalam proses penyidikan.
“Jangan sampai niat baik Presiden Prabowo dinodai oleh praktik impunitas atau penyalahgunaan wewenang di Kejaksaan Agung,” ujar Sugeng dalam keterangan resminya, Jumat (7/3/2025).
IPW menyoroti pernyataan Kejagung yang secara prematur membebaskan Menteri BUMN Erick Thohir dari dugaan keterlibatan kasus ini, meskipun penyidikan masih berlangsung.
“Pernyataan Kejagung yang seolah-olah mencuci bersih Erick Thohir sangat janggal. Apalagi Erick Thohir sebagai Menteri BUMN dapat dimintai keterangan karena kasus ini melibatkan anak buahnya,” tegas Sugeng.
IPW juga mengkritik pertemuan antara Erick Thohir dan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin, yang membahas kasus Pertamina, padahal Kejagung sedang menangani dugaan korupsi di BUMN tersebut. IPW menilai pertemuan tersebut melanggar etik hukum dan meminta Presiden Prabowo mencopot keduanya, termasuk Jampidsus Kejagung, Febrie Adriansyah.
IPW menemukan sejumlah kejanggalan dalam penyidikan kasus ini, khususnya terkait penetapan tersangka. Dalam perhitungan kerugian negara, Kejagung menyebut angka:
- Rp 35 triliun dari ekspor minyak mentah dalam negeri
- Rp 2,7 triliun dari impor minyak mentah melalui broker
- Rp 9 triliun dari impor BBM melalui broker
Namun, tidak ada satu pun pihak swasta yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. Sebaliknya, pengusaha muda Muhammad Kerry Andrianto Riza justru dijadikan tersangka, meskipun perusahaannya, PT Orbit Terminal Merak (OTM), memiliki kontrak resmi dengan PT Pertamina Patra Niaga.
IPW menilai tuduhan terhadap Muhammad Kerry Andrianto Riza tidak berdasar. Penyidik menuduhnya melakukan pengoplosan BBM, padahal praktik yang dilakukan adalah blending, yang merupakan proses sah dalam industri migas.
“Blending adalah praktik umum dalam industri migas untuk meningkatkan kualitas BBM. Ini berbeda dengan pengoplosan yang merupakan tindakan ilegal,” ujar Sugeng.
Blending BBM telah diatur dalam Peraturan Menteri ESDM No. 32 Tahun 2008 dan Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2004. Bahkan, pada 4 Maret 2025, Kejagung meralat pernyataannya sendiri, mengakui bahwa yang dilakukan adalah blending, bukan pengoplosan.
“Kejagung telah membuat hoaks dengan menyebut ada BBM oplosan, yang merugikan Pertamina dan menurunkan kepercayaan publik terhadap perusahaan nasional kita,” tegas Sugeng.
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VII DPR RI pada 26 Februari 2025, Pertamina sendiri mengakui bahwa blending dilakukan oleh PT Pertamina Patra Niaga, bukan oleh PT OTM atau Muhammad Kerry Andrianto Riza.
Selain itu, kontrak antara PT Pertamina dan PT Orbit Terminal Merak telah berlaku sejak 2014 dan akan berakhir pada 22 Agustus 2024, sehingga pengadaan jasa penyimpanan minyak masih sah berdasarkan KUH Perdata Pasal 1313 dan 1320.
“Jika blending itu melanggar hukum, maka yang harus dimintai pertanggungjawaban adalah PT Pertamina (Persero), bukan PT Orbit Terminal Merak,” kata Sugeng.
IPW juga menyoroti penetapan Kerry sebagai tersangka hanya karena statusnya sebagai Beneficial Owner PT Navigator Katulistiwa.
“Dalam hukum pidana Indonesia, seseorang tidak bisa dipidana hanya karena jabatannya, tanpa adanya perbuatan melawan hukum yang nyata,” tegas Sugeng.
Putusan Mahkamah Agung juga menegaskan bahwa pertanggungjawaban pidana bersifat individual, bukan karena kedudukan seseorang dalam perusahaan. Oleh karena itu, penetapan Kerry sebagai tersangka bertentangan dengan prinsip dasar hukum pidana.
IPW menduga ada upaya kriminalisasi terhadap Kerry untuk menyingkirkan pelaku usaha lama dan membuka jalan bagi pemain baru di industri migas nasional.
IPW menilai banyaknya penyimpangan dalam penyidikan kasus ini harus menjadi evaluasi besar terhadap Kejagung.
“Kita tidak ingin pemberantasan korupsi justru dijadikan alat untuk melindungi pihak tertentu dan menjatuhkan pihak lainnya,” pungkas Sugeng.
IPW mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk turun tangan, mengevaluasi Kejagung, dan memastikan bahwa pemberantasan korupsi dijalankan tanpa kepentingan politik dan ekonomi tertentu.