Alen Y. Sinaro
Berdaulat.id, Pada suatu hari Jumat yang agung, 10 Zulhijjah, seorang khatib berdiri dengan semangat di atas mimbar. Kata-katanya menyentuh, pandangannya menembus hati, dan niatnya hanya satu: menyampaikan kebenaran. Tak lama berselang, langit pun menyambutnya pulang. Namanya: Ustadz Yahya Waloni.
Lahir dalam pelukan kemapanan dan akademisi, Yahya Waloni sempat mencapai puncak dunia: menjadi rektor, berpenghasilan tinggi, dihormati di lingkaran elit. Tapi hidayah tak mengenal struktur sosial. Ketika cahaya Islam mengetuk, ia buka pintu selebar-lebarnya. Dunia pun ia tinggalkan tanpa ragu.
“Mobilnya rusak, rumahnya masih kontrakan, tapi beliau tidak pernah mengeluh,” kata Ustadz Abdul Somad mengenang sahabatnya. Di saat sebagian orang berjuang untuk hidup lebih nyaman, Yahya justru meninggalkan kenyamanan demi hidup yang lebih berarti.
Ia berdakwah ke mana-mana. Menyetir sendiri. Menginap seadanya. Tidak berceramah demi popularitas. Tidak berkoar untuk dipuja. Ia menyampaikan, membela, dan tak takut. Ketika UAS diburu oleh mereka yang benci pada dakwah, Yahya Waloni maju ke depan. “Beliau hanya takut pada Allah,” kata UAS.
Kematian beliau bukan akhir. Justru klimaks dari kisah seorang muallaf yang menempuh jalan sulit, bukan karena tidak tahu jalan mudah, tetapi karena tahu bahwa jalan surga tidak selalu dilapisi karpet merah.
Beliau wafat sebagai khatib. Pada hari Jumat. Di bulan Zulhijjah. Dalam keadaan menjalankan tugas mulia. Dan sebagaimana janji Allah kepada orang-orang yang tulus, kematiannya bukan kehilangan. Itu kemenangan.
Selamat jalan, Ustadz Yahya Waloni.
Kisahmu menjadi pelita. Dalam antrian panjang menuju ke Keabadian ini, kami merindukan Syahid yang engkau raih! 🤲
الفاتحة
اللهم اغفر له وارحمه وعافه واعف عنه
