Sabtu, Oktober 4, 2025
No menu items!
BerandaArtikelPalestina….Sunyi yang Tidak Diindahkan

Palestina….Sunyi yang Tidak Diindahkan

Oleh: Dr. H. J. Faisal

Berdaulat.id, Di negeri pencipta banyak sarjana muslim seperti Indonesia, ternyata kisah Palestina hanya sesekali mampir di seminar, lebih sering jadi selingan di antara diskusi tentang indeks Scopus dan dana hibah.

Ya, dalam kenyataannya, akademisi Indonesia, sebagian besarnya, ternyata masih terus sibuk untuk sekedar bertahan hidup, mengisi absen, mengejar target Sistem Kredit Semester (SKS), ‘cari muka’ di depan atasan, dan menulis jurnal yang tidak pernah dibaca, ketimbang membahas tentang masalah Palestina.

Kisah tentang Palestina terlalu jauh, terlalu rumit, dan tidak mendatangkan insentif.

Solidaritas pun menjadi ritual kosong saja, long march, penggalangan dana, dan poster-poster hanya akan dilipat rapi setelah acara selesai. Seolah penderitaan bisa ditebus dengan spanduk dan amplop.

Dunia Islam, dalam diamnya, mungkin sedang menunggu mukjizat, yaitu turunnya Nabi Isa, munculnya Imam Mahdi, atau minimal trending topik yang bisa memicu rasa peduli sesaat.

Dunia memberi bantuan kepada rakyat Gaza, namun tidak ubahnya seperti memberi sedekah kepada pengemis yang tidak diinginkan, dengan rasa iba, bukan dengan rasa hormat.

Palestina berjalan dalam sunyi, dan sunyi itu tidak hanya berasal dari bom dan blokade, tetapi juga dari para cendekiawan yang memilih diam. Pergi berjihad langsung tidak berani, menulis keadaan yang sebenarnya pun takut, ditambah lagi tidak paham betul situasi yang terjadi di sana.

Sementara mereka yang paham, memilih aman. Mereka yang berani, dianggap radikal. Maka akhirnya, Palestina menjadi isu yang tidak laku di ruang akademik, kecuali untuk studi konflik yang netral-netral saja.

Umat Islam, dalam kelelahan sejarahnya, sedang melongo. Menonton penderitaan rakyat Gaza dan tepi barat seperti menonton sinetron, ada air mata, ada kemarahan, tetapi tidak ada perubahan.

Kita sedang menunggu akhir cerita yang sudah ditulis ribuan tahun lalu, tetapi lupa bahwa sebenarnya kita juga adalah pemeran yang seharusnya ikut menulis naskahnya.

Kedaulatan yang Dipertanyakan

Pengakuan sejumlah negara Barat atas Palestina dalam pekan terakhir jelang Konferensi Internasional Penyelesaian Palestina dan Solusi Dua Negara dan Sidang Umum PBB ke-80 di New York pada 22-23 September 2025, kembali menyalakan diskursus lama tentang solusi dua negara.

Inggris, Prancis, Portugal, Australia, hingga Kanada menyatakan dukungan mereka terhadap berdirinya negara Palestina yang merdeka.

Hal itu juga ditegaskan oleh Presiden Prabowo Subianto saat sampaikan pidato 5 menit di agenda pertama pada 22 September 2025, dan 20 menit di agenda kedua pada 23 September 2025.

Bagi sebagian kalangan, langkah ini merupakan terobosan penting setelah puluhan tahun stagnasi.

Namun, bagi yang mengikuti dinamika konflik lebih dekat, salahsatunya saya sendiri, muncul pertanyaan mendasar di dalam pemikiran saya yang sangat sederhana ini…negara Palestina seperti apa yang sebenarnya dimaksud?

Apakah sebuah negara yang benar-benar merdeka, berdaulat penuh atas tanah, laut, udara, dan kebijakannya? Ataukah sekadar entitas administratif yang dibatasi kewenangannya, tanpa militer, tanpa kontrol perbatasan, dan bergantung pada koordinasi keamanan dengan Israel?

Dalam banyak rancangan yang dibicarakan, Palestina dibayangkan sebagai negara dengan kedaulatan terbatas. Perbatasan, ruang udara, bahkan akses laut tetap berada dalam pengawasan Israel.

Kondisi ini sejatinya tidak berbeda dengan realitas di Tepi Barat dan Gaza saat ini, di mana aktivitas keluar-masuk barang maupun manusia selalu tunduk pada kontrol ketat Tel Aviv.

Model seperti itu sulit disebut negara merdeka. Kedaulatan bukan sekadar pengakuan formal, melainkan kemampuan sebuah bangsa mengatur diri sendiri tanpa intervensi pihak luar. Tanpa itu, pengakuan negara hanyalah simbol, tanpa substansi.

Pidato Diplomatik ‘Putus Asa’

Dalam pidatonya di Sidang Majelis Umum PBB pada 23 September 2025, Presiden Prabowo Subianto menyatakan bahwa Indonesia siap membuka hubungan diplomatik dengan Israel jika Israel terlebih dahulu mengakui kemerdekaan dan kenegaraan Palestina. Dia pun menegaskan bahwa Indonesia tetap konsisten mendukung solusi dua negara sebagai jalan menuju perdamaian abadi.

Dia menyatakan bahwa pengakuan terhadap Israel hanya akan terjadi jika Palestina diakui sebagai negara merdeka dan berdaulat.

Indonesia juga menyatakan kesediaan untuk menjamin keamanan Israel sebagai bagian dari proses perdamaian.

Sebagian pihak melihat ini sebagai langkah diplomatik strategis untuk mendorong pengakuan Palestina di panggung internasional.

Namun, menurut saya, dan menurut Sebagian besar rakyat Indonesia yang masih waras pemikirannya, membuka peluang pengakuan terhadap Israel bisa dianggap sebagai pengabaian terhadap penderitaan rakyat Palestina dan legitimasi atas tindakan kekerasan yang telah terjadi.

Apakah ini bentuk “putus asa diplomatik” pemerintah Indonesia, atau memang merupakan sebuah konsensus diplomasi murni dari rakyat Indonesia?

Ada yang melihatnya sebagai realisme diplomatik, yaitu mencoba membuka jalan damai melalui tekanan diplomatik terhadap Israel. Tetapi ada pula yang menilai bahwa syarat pengakuan itu terlalu lunak atau bahkan berisiko mengaburkan posisi moral Indonesia terhadap genosida dan penjajahan.

Masalahnya adalah ucapan presiden itu mengandung preseden yang berbahaya bagi stabilitas keamanan dalam negeri. Pasalnya, ucapan yang belum tentu mendapatkan ‘restu’ dari ulama indonesia itu juga akan memancing kemarahan rakyat indonesia yang mayoritas muslim, dan tetap menilai bahwa Israel bukanlah sebuah negara yang wajib untuk dibuka jalur diplomasinya secara resmi.

Pernyataan seorang kepala negara, apalagi terkait isu sensitif seperti Palestina-Israel, tentunya tidak bisa dilepaskan dari dampaknya terhadap stabilitas sosial, politik, dan psikologis masyarakat.

Dapat kita analogikan, bahwa pernyataan tersebut ibarat mengundang serigala ke meja makan, dengan syarat serigala tersebut harus berhenti memangsa domba.

Masalahnya, sejarah menunjukkan bahwa serigalanya (baca: Israel) tidak pernah berhenti lapar, dan dombanya tidak pernah punya hak veto. Mengakui Israel, meski dengan embel-embel syarat, tetap saja membuka pintu legitimasi terhadap tindakan brutal yang telah berlangsung puluhan tahun.

Dan genosida yang sudah dilakukan oleh serigala Israel bukanlah sesuatu yang bisa dinegosiasikan dengan janji manis diplomatic, bos.

Lebih mengkhawatirkan lagi, pernyataan ini tampaknya lahir dari ruang rapat yang sunyi dari suara ulama, akademisi, dan rakyat. Di negeri yang mayoritas penduduknya Muslim dan telah lama menjadikan isu Palestina sebagai simbol solidaritas dan kemanusiaan, ucapan seperti ini bukan hanya kontroversial, tetapi sangat berpotensi memantik bara dalam sekam.

Presiden gemoy kita, tampaknya kali ini terlalu percaya diri bahwa dunia akan menyambut tawaran damai yang sangat ‘absurd’ ala Indonesia ini. Padahal, realitas geopolitik tidak tunduk pada idealisme semata.

Israel sebenarnya tidak sedang mencari pengakuan dari negara mayoritas Muslim, tetapi dia sedang memperkuat posisi tawarnya dengan kekuatan militer dan dukungan Barat. Maka, tawaran kita bisa jadi hanya dianggap angin lalu, atau lebih buruk, sebagai tanda kelemahan umat Islam.

Yang lebih tragis adalah kemungkinan bahwa pernyataan Presiden yang doyan berjoget dan pernyataannya suka ceplas ceplos ini akan menjadi preseden. Jika Indonesia, negara yang selama ini vokal membela Palestina, mulai membuka celah diplomatik terhadap Israel, maka negara-negara lain yang lebih pragmatis akan merasa sah untuk mengikuti.

Solidaritas global terhadap Palestina bisa terkikis, dan perjuangan kemerdekaan mereka akan semakin terisolasi. Kita bukan hanya membuka pintu, tetapi juga melepas kunci perjuangan.

Tentu saja, para pembisik Presiden Indonesia yang berada di belakang layar mungkin punya niat baik. Mereka ingin Indonesia tampil sebagai juru damai, sebagai negara yang bisa menjembatani dua kutub yang saling bermusuhan. Tetapi niat baik tanpa pemahaman mendalam adalah bahaya yang terselubung.

Diplomasi bukan hanya soal kata-kata, tetapi juga soal sejarah, luka, dan keberpihakan yang jelas. Dan dalam kasus ini, keberpihakan kita seharusnya tetap pada yang tertindas, bukan pada yang menindas.

Maka, sebelum kita terlalu jauh melangkah dalam euforia “pengakuan bersyarat”, mari kita ingat bahwa tidak semua kompromi adalah kebijaksanaan.

Kadang, menolak untuk berdamai dengan ketidakadilan adalah bentuk tertinggi dari diplomasi. Dan jika suara rakyat, ulama, dan nurani bangsa tidak didengar, maka diplomasi itu bukan lagi representasi negara, melainkan monolog kekuasaan yang lupa siapa yang diwakilinya.

Membongkar Tipuan ‘Ilusi Optik’ Dibalik Wacana Solusi Dua Negara

Solusi dua negara memang telah lama dijajakan sebagai obat mujarab bagi konflik Palestina-Israel.

Namun, di balik kemasan diplomatik yang tampak manis, tersembunyi racun yang perlahan melumpuhkan perjuangan Palestina.

Yang harus dipahami dan dimengerti oleh kita adalah, Israel dan sekutunya tidak benar-benar ingin dua negara yang setara.

Mereka tetap menginginkan satu negara yang dominan, dan satu lagi yang jinak, tanpa gigi, tanpa suara, dan tanpa hak untuk marah.

Narasi “kemerdekaan Palestina” yang ditawarkan dalam kerangka solusi dua negara sering kali hanyalah ilusi optik. Palestina diberi bendera, diberi lagu kebangsaan, mungkin juga diberi kursi di PBB, tetapi Palestina tetap tidak diberi tentara, tidak diberi kontrol atas perbatasan, tidak diberi hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Sebuah negara boneka, yang merdeka hanya di atas kertas, tapi tetap tunduk pada intimidasi dan blokade.

Israel tahu bahwa umat Islam di seluruh dunia, termasuk Indonesia, memiliki simpati mendalam terhadap Palestina. Maka, solusi dua negara dijadikan alat kosmetik untuk meredakan kemarahan, menenangkan demonstrasi, dan membungkam solidaritas. Ini bukan diplomasi damai, tetapi strategi anestesi, yaitu membuat umat Islam tertidur dalam mimpi kemerdekaan palsu, sementara realitas di lapangan tetap penuh penindasan.

Yang lebih ironis, faksi-faksi perlawanan Palestina yang selama ini menjadi simbol keberanian dan martabat, justru akan dianggap sebagai ancaman dalam skema dua negara. Mereka akan dipaksa bubar, dilucuti, dan dijadikan “ekstremis” oleh narasi global.

Padahal, tanpa perlawanan, Palestina bukanlah negara, melainkan tanah yang dijaga oleh penjaga asing, dengan rakyat yang tidak punya hak untuk membela diri.

Maka, solusi dua negara bukanlah jalan keluar, melainkan jalan buntu yang dipoles agar tampak seperti lorong harapan. Ini adalah tipuan diplomatik yang mengubah penjajahan menjadi kemitraan, dan mengubah penindasan menjadi perdamaian semu.

Jadiiii…..jika Indonesia ikut menyanyikan lagu ini tanpa menyadari nadanya yang palsu, maka sesungguhnya kita bukan sedang membela Palestina, namun kita sedang menulis epilog baru bagi kemerdekaan Palestina yang semu.

Sejarah Penjajahan Israel Terhadap Palestina Bukanlah Konflik Dua Negara Yang Setara

Sejarah penjajahan Israel terhadap Palestina bukanlah kisah konflik dua pihak yang setara, melainkan narasi panjang tentang pengusiran, pembantaian, dan pendudukan yang dimulai sejak 1948.

Tahun itu, dunia menyaksikan apa yang disebut sebagai Al-Nakba—bencana besar bagi rakyat Palestina. Lebih dari 750.000 warga Palestina diusir dari tanah mereka, 500 desa dihancurkan, dan ribuan nyawa melayang dalam operasi militer Zionis yang bertujuan “membersihkan” wilayah untuk negara baru bernama Israel.

Tahun 1967, Israel kembali menunjukkan taringnya dalam Perang Enam Hari, merebut Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem Timur. Sejak saat itu, pendudukan menjadi norma, bukan pengecualian. Dunia menyaksikan, mencatat, lalu melupakan.

Perjanjian Oslo tahun 1993 dan 1995, yang digadang-gadang sebagai titik balik menuju perdamaian, justru menjadi alat diplomatik untuk mengatur bagaimana Palestina bisa dikendalikan secara administratif. Israel tetap memperluas pemukiman ilegal, dan Palestina hanya diberi “wilayah otonomi” yang terfragmentasi, tanpa kontrol atas perbatasan, udara, atau keamanan.

Tahun 2000, Intifada kedua meledak sebagai respons atas kegagalan diplomasi dan provokasi di Masjid Al-Aqsa.

Tahun 2008, 2012, 2014, dan 2021, Israel melancarkan serangan besar-besaran ke Gaza, menewaskan ribuan warga sipil, termasuk anak-anak, dengan dalih “pertahanan diri.”

Gencatan senjata hanya menjadi jeda untuk mengisi ulang peluru.

Tahun 2018, Amerika Serikat mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, dan tahun 2020, kesepakatan Abraham mulai membuka jalan normalisasi antara Israel dan beberapa negara Arab.

Tetapi Palestina tetap terkurung dalam blokade, kemiskinan, dan trauma. Bahkan ketika dunia menuntut “solusi dua negara,” Israel terus membangun tembok pemisah, memperluas pemukiman, dan menahan anak-anak Palestina tanpa proses hukum.

Dengan demikian, jika kita masih menyebut ini sebagai konflik, itu artinya kita sedang memoles penjajahan dengan istilah yang terlalu sopan. Ini bukan konflik dua pihak, ini adalah satu pihak yang menindas, dan satu pihak yang terus dipaksa untuk bersabar.

Bahkan ketika dunia menuntut gencatan senjata, Israel sering kali melanjutkan operasi militer dengan dalih “pertahanan diri.” Dalam logika ini, gencatan senjata, dalam praktiknya, hanyalah cara untuk mengatur ulang strategi penindasan.

Palestina tidak pernah benar-benar dianggap sebagai manusia merdeka, melainkan sebagai populasi yang harus dikendalikan.

Maka, ketika solusi dua negara ditawarkan, kita wajib waspada dan curiga, apakah ini benar-benar solusi, atau hanya cara baru untuk melanggengkan penjajahan dengan stempel diplomatik dari ‘pengesahan’ dunia?

Narasi Agresi Israel Terhadap Negara-Negara Sekitar Palestina Sebagai Bagian Dari Propaganda Pengukuhan Diri

Israel, dalam upayanya mengukuhkan citra sebagai “pemenang” atas Hamas, justru memperluas medan konflik ke negara-negara tetangga. Serangan udara ke Suriah, Iran, Qatar, dan Yaman, serta provokasi di Lebanon, dan ancaman terhadap Yordania bukanlah bentuk pertahanan diri, melainkan ekspansi naratif, bahwa Israel adalah benteng peradaban yang sedang melawan “barbarisme.”

Padahal, yang terjadi adalah imperialisme modern yang dibungkus dengan jargon keamanan nasional. Ini bukan kemenangan, ini adalah parade kekerasan yang dipoles agar tampak heroik.

Setiap kali Hamas menunjukkan tanda-tanda perlawanan, Israel merespons dengan menghancurkan infrastruktur sipil, bukan hanya di Gaza, tetapi juga di wilayah sekitarnya. Serangan ke bandara Aleppo dan Damaskus, misalnya, bukan sekadar operasi militer, tetapi pesan simbolik….. “Kami bisa menyerang siapa saja, kapan saja.”

Ini bukan strategi militer, ini adalah pertunjukan kekuasaan yang ingin menanamkan rasa takut di seluruh kawasan.

Dan dunia, seperti biasa, menonton sambil mengunyah jargon diplomatik.

Yang lebih memalukan adalah bagaimana propaganda ini dijual ke publik global sebagai keberhasilan melawan terorisme.

Israel memposisikan dirinya sebagai korban yang cerdas, bangsa pilihan Tuhan yang sedang mempertahankan eksistensinya. Padahal, dalam praktiknya, mereka adalah pelaku utama penindasan, pembunuhan, dan pengusiran massal.

Klaim sebagai “bangsa pilihan” berubah menjadi lisensi untuk membunuh tanpa konsekuensi. Tuhan, dalam narasi ini, dijadikan sponsor kekerasan.

Agresi terhadap negara-negara sekitar bukanlah respons terhadap ancaman nyata, melainkan bagian dari skenario besar untuk mengisolasi Palestina dan membungkam solidaritas regional.

Dengan menciptakan ketegangan di Lebanon, Suriah, Yaman, Iran, Qatar, dan bahkan Mesir, Israel berharap dunia Arab sibuk dengan masalah internal dan lupa bahwa Gaza sedang sekarat. Ini adalah strategi pecah-belah yang sudah lama dipraktikkan oleh kolonialisme, kini diperbarui dengan teknologi militer dan dukungan kecanggihan teknologi media dari Barat.

Maka, ketika Israel mengklaim kemenangan atas Hamas, kita patut bertanya: kemenangan atas siapa? Atas anak-anak yang kelaparan? Atas rumah sakit yang hancur? Atas negara-negara tetangga yang dipaksa diam karena takut diserang?

Ini bukan kemenangan, ini adalah propaganda yang hanya bisa dipercaya oleh mereka yang sudah lama kehilangan empati. Dan jika dunia Islam masih diam, atau lebih parah, ikut memuji, maka kita sedang menyaksikan bukan hanya kekalahan Palestina, tetapi juga kekalahan nurani umat manusia.

Kondisi Terakhir Palestina

Pada tahun 2025, Gaza bukan lagi sekadar wilayah konflik, namun telah berubah menjadi laboratorium pembunuhan dan penderitaan manusia. Sebanyak 65 ribu lebih nyawa manusia di Palestina telah menjadi korban kebrutalan zionis Yahudi Israel.

Sejak Israel memberlakukan blokade total pada 2 Maret 2025, akses terhadap makanan, air bersih, dan obat-obatan ditutup rapat. Hasilnya, kelaparan buatan melanda jutaan warga sipil.

Hingga Agustus 2025, tercatat sedikitnya 266 jiwa meninggal akibat malnutrisi, termasuk 122 anak-anak. Ironisnya, di luar perbatasan Gaza, gudang-gudang bantuan milik United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East (UNRWA) menyimpan cukup makanan untuk seluruh populasi Gaza selama tiga bulan, namun tidak satu pun truk yang diizinkan masuk. Ini bukan bencana alam, ini adalah penderitaan yang dirancang serapih mungkin.

Rumah sakit di Gaza kini tidak ubahnya seperti ruang tunggu kematian. Empat pusat perawatan malnutrisi beroperasi jauh di atas kapasitas, dengan tenaga medis yang kelelahan dan peralatan yang nyaris tidak berfungsi. Lebih dari 6.500 anak balita menjalani rawat jalan karena malnutrisi akut, dan 40% ibu hamil serta menyusui mengalami kekurangan gizi parah.

Di tengah krisis ini, harga bahan pokok melonjak hingga 40 kali lipat: satu kilogram gula mencapai 100 dolar AS, dan tepung serta lentil menyentuh angka 30 dolar AS per kilogram.

Warga Gaza kini bergantung pada distribusi sup miju-miju dan air hujan, sementara dunia sibuk berdebat tentang “Solusi Dua Negara.”

Dan ketika rakyat Palestina berjuang untuk sekadar bertahan hidup, Israel tetap melanjutkan operasi militer yang telah menewaskan lebih dari 61.000 orang sejak Oktober 2023, mayoritas perempuan dan anak-anak. Banyak korban masih tertimbun di bawah reruntuhan, tidak terjangkau oleh tim penyelamat. Blokade bukan hanya menghentikan bantuan, tetapi juga menghentikan harapan.

Maka, jika masih ada yang menyebut ini sebagai “konflik dua pihak,” maka sesungguhnya dia masih belum mengerti apa yang sedang terjadi di Palestina. Ini bukan keadaan tentang dua negara yang berkonflik atau berselisih, tetapi ini adalah satu bangsa yang dipenjara, dan satu rezim yang memegang kunci sel penjaranya dengan senyum diplomatic yang penuh racun.

Penutup dan Solusi

Maka bagi mereka yang masih termakan dengan ilusi ‘Solusi Dua Negara’, lebih baik diam dan belajar dulu tentang sejarah luka Palestina yang tidak kunjung sembuh. Karena Israel tidak sedang menawarkan perdamaian, melainkan sedang menyusun skenario pengendalian persepsi umat Islam dunia.

Hanya segelintir negara yang benar-benar paham permainan ini, yaitu Iran, Yaman, Rusia, China, Afrika Selatan, Venezuela, dan Kolombia, karena mereka tahu bahwa diplomasi palsu adalah senjata yang lebih tajam dari peluru.

Dan senjata dari Israel ‘Si Pembuat Kerusakan Peradaban Umat Manusia’ ini harus dilawan dengan senjata pula, buka dengan basa-basi politik.

Dan bagi bangsa Muslim yang masih bermain dua kaki seperti Indonesia, yang katanya mengaku membela Palestina sambil menikmati manisnya berbisnis dengan penjajah dan sekutunya, sejarah akan mencatat Indonesia bukan sebagai pembela, tetapi sebagai penonton yang bertepuk tangan saat panggung penderitaan Palestina semakin nyata.

Ingatlah, sesungguhnya Islam bukan hanya soal identitas, tetapi soal keberpihakan. Dan keberpihakan terhadap yang tertindas tidak bisa ditolerir dan dimaafkan.
Pemikiran yang kerdil dalam diplomasi bukan hanya soal kurangnya wawasan sejarah, tapi juga soal kegagalan membaca arah angin geopolitik.

Jadi, ketika seorang presiden menganggap bahwa membuka hubungan dengan Israel, bahkan menjamin keamanan Israel adalah sebuah langkah strategis, padahal syaratnya adalah pengakuan semu terhadap Palestina, maka kita sedang menyaksikan diplomasi yang dibangun di atas ilusi. Ini bukan strategi, tetapi ini adalah penghianatan terhadap Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, dan penghianatan terhadap seluruh umat muslim di dunia.

Kepemimpinan yang gagal memahami bahwa Israel tidak pernah berniat memberi Palestina kedaulatan sejati, justru akan menjadi alat propaganda bagi penjajah.

Terbukti ketika foto sang presiden Indonesia ditampilkan dalam spanduk yang sangat besar di Israel, berdampingan dengan foto Presiden Amerika, Perdana Menteri ‘Israhell’, Presiden ‘boneka’ Palestina, dan beberapa pemimpin negara pendukung Yahudi ‘Israhell’ lainnya.

Lebih jelasnya adalah, ketika seorang kepala negara bicara soal perdamaian, tapi tidak menyebut kata “penjajahan,” maka sesungguhnya dia sedang menari di atas luka bangsa yang tertindas.

Dan jika pemikiran seperti ini terus dijadikan acuan, maka Indonesia bukan sedang memimpin diplomasi dunia Islam, Indonesia sedang tersesat dalam labirin diplomasi Barat yang penuh jebakan manis.

Maka, saran kami sebagai muslim yang masih lurus otak dan hati kami, harus ada desakan transparansi dimana pemerintah perlu menjelaskan secara terbuka maksud dan strategi di balik pernyataan tersebut, serta melibatkan tokoh agama, akademisi, dan masyarakat sipil dalam diskusi kebijakan luar negeri yang menyangkut isu Palestina.

Yang kedua, menegaskan posisi Indonesia secara konsisten. Artinya, jika Indonesia tetap mendukung kemerdekaan Palestina, maka segala bentuk komunikasi diplomatik harus memperkuat posisi tersebut, bukan membuka celah interpretasi atau usulan sepihak yang ambigu.

Terakhir, mendorong diplomasi yang berkeadilan, agar Indonesia bisa tetap aktif dalam diplomasi internasional, namun dengan pendekatan yang tidak mengorbankan prinsip moral dan solidaritas terhadap bangsa yang tertindas.

Wallahu’allam bisshowab

Jakarta, 4 Oktober 2025

*Pensyarah Prodi PAI UNIDA Bogor/ Director of Logos Institute for Education and Sociology Studies (LIESS) / Pemerhati Pendidikan dan Sosial/ Anggota PJMI

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Most Popular

Recent Comments