Oleh: H. J. FAISAL*
Mahasiswa Tidak Seharusnya ‘Dijinakkan’
Berdaulat.id, Suatu saat, ada sebuah pesan Whatssapp yang masuk ke handphone saya. Ternyata itu pesan dari salahsatu mahasiswa saya. Mahasiswa saya tersebut sedang menempuh pendidikan Strata Satu (S1), Prodi Bahasa Arab.
Dalam pesannya tersebut, dia menawarkan sebuah program wisata ‘Rafting’ dari perusahaan milik orangtuanya kepada saya. Dan secara jujur pula dia bertanya kepada saya, bagaimana caranya menawarkan wisata ini kepada khalayak, agar usaha Rafting nya menjadi ramai.
Akhirnya, ketika bertepatan ada jadwal mengajar saya di kampus, saya temui mahasiswa saya tersebut, dan saya terangkan bagaimana cara pemasaran yang pas untuk sebuah produk jasa liburan di bidang Rafting. Dengan berbekal pengetahuan ekonomi saya waktu di S 1 saya dulu, akhirnya saja menjelaskan cara pemasaran tersebut secara padat namun ringkas.
Poin saya di sini adalah, saya menaruh rasa salut dan kagum, karena meskipun mahasiswa saya tersebut sekarang sedang berada dalam jurusan pendidikan yang sangat ‘jauh berbeda’ dengan bidang yang dia geluti sekarang (program pendidikan Bahasa Arab), yaitu sebagai seorang pengusaha muda Rafting (bidang jasa liburan), namun dia mempunyai ‘kenakalan’ yang cukup berani untuk dia keluar dari zona nyamannya.
Poin lainnya yang saya ingin utarakan di sini adalah, untuk apa menjadi mahasiswa yang penurut di sebuah kampus, sebuah tempat pendidikan tinggi, tempat dimana seharusnya keingintahuan menjadi sebuah jalan untuk mendapatkan solusi dari berbagai macam permasalahan kehidupan yang ada?
Dan untuk apa pula sebuah kampus harus mencetak para lulusan yang ‘penurut’, yang harus selalu mengikuti teori-teori using dari para dosennya, padahal dosennya tersebut belum tentu mempunyai kreativitas untuk memancing rasa ingin tahu mahasiswanya? Padahal dosennya tersebut juga belum tentu mempunyai sebuah pemahaman atas apa yang sedang terjadi di dunia luar kampus saat ini? Dan apalagi dosennya tersebut juga tidak memiliki solusi yang kreatif untuk memecahkan permasalahannya sendiri dan permasalahan masyarakat di sekitarnya?
Tentu saja, kata ‘kenakalan’ di sini bukan berarti rebel tanpa arah, tapi lebih ke semangat, istilah kerennya curiosity-driven rebellion, yaitu melawan stagnasi, menantang status quo, dan tidak puas hanya jadi penerima informasi pasif.
Kampus yang sadar disrupsi seharusnya mendorong mahasiswa untuk berpikir kritis, bukan menghafal jawaban, menstimulus keberanian bertanya, bahkan terhadap hal yang dianggap mapan sekalipun, mendesain ruang eksperimen, tempat gagasan liar diuji, dan bukan hanya dinilai, dan menghubungkan kelas dengan realitas, agar mahasiswa terbiasa mencari solusi untuk dunia nyata.
Dengan kata lain, di era yang terus berubah, mahasiswa tidak seharusnya ‘dijinakkan’ tetapi mereka seharusnya dilatih untuk berpikir liar dengan tanggung jawab dan empati yang tinggi pastinya.
Dosen Seharusnya Sebagai Agen Perubahan, Bukan Sekedar Pengisi Rubrik Nilai Akademis
Sebuah kampus yang inovatif seharusnya menjadi sebuah kampus yang mampu memancing ‘kenakalan kreatif dan inovatif’ mahasiswanya. Karena dari ‘kenakalan-kenakalan kreatif dan inovatif’ inilah maka akan muncul berbagai macam pemikiran kreatif, dan tindakan inovatif yang dapat membuat kampus layak disebut sebagai tempat belajarnya para inovator masa depan.
Karena itulah, sebuah kampus yang paham tentang disrupsi yang sedang terjadi saat ini, baik itu disrupsi yang sedang terjadi di bidang sosial, ekonomi, atau teknologi, baik yang sedang terjadi di negara ini maupun di seluruh dunia, maka kampus itu justru seharusnya memancing berbagai macam’kenakalan’ mahasiswanya, untuk menjadi mahasiswa-mahasiswa yang selalu ingin tahu, menjadi mahasiswa yang selalu ingin mencoba, menjadi mahasiswa yang selalu mencari cara untuk menemukan solusi atas semua permasalahan yang sedang terjadi di luar kampus yang ada saat ini.
Jika perlu, ambil beberapa permasalahan yang menjadi minat para mahasiswa yang ada di luar kampus saat ini, bawa masuk permasalahan-permasalahan tersebut ke dalam kampus, kemudian didiskusikan bersama dosen-dosennya.
Kemudian, cocokkan dengan teori-teori keilmuan yang sudah ada, lalu bandingkan, apakah teori-teori tersebut masih relevan dengan keadaan permasalahan yang ada sekarang.
Jika tidak, maka mahasiswa dan dosen harus bersama-sama mencari jawaban dan solusinya lewat penelitian yang terbaru, sehingga menghasilkan sebuah teori atau pendapat keilmuan yang lebih ‘up to date’, dimana dari hasil penelitian itu, pastinya juga akan mampu mendongkrak harga diri kampus tersebut.
Sementara untuk dosen yang tidak tanggap dengan permasalahan sosial yang sedang terjadi di luar kampus, karena justru terlalu asyik dengan urusan menaikkan pangkat administrasinya sendiri, lebih baik jangan mengajar mahasiswa, kasihan mahasiswanya, karena mereka akan mendapatkan jalan buntu dari berbagai macam persoalan hidup, dikarenakan tidak mendapat bekal pengetahuan yang cukup sebagai solusinya dari dosen-dosen seperti itu.
Sementara untuk permasalahan di dalam kampus, biarlah para pejabat dan pegawai kampus yang mengatasinya. Kenapa mau menjadi pejabat atau pegawai sebuah kampus, kalau tidak bisa menjalaninya, bukan?
Dengan kata lain yang lebih sederhana adalah bahwa, sebuah kampus bukanlah sebuah menara gading, tinggi tetapi tidak dapat dipahami. Sebuah kampus adalah sebuah tempat menyalurkan aspirasi dan menyusun solusi atas masalah sosial, ekonomi, dan budaya.
Karena itulah, mahasiswa belajar dari teladan para dosennya, dan bukan hanya dari silabus, tetapi juga dari keberpihakan dosennya terhadap problem nyata. Dosen yang sibuk dengan administrasi pangkat tanpa sensitivitas sosial berisiko menjadikan pendidikan tinggi sekadar rutinitas birokratik, bukan ruang transformasi.
Setiap dosen seharusnya melihat dirinya sebagai navigator moral yang menghubungkan teori dengan kondisi sosial. Setiap dosen seharusnya melihat dirinya sebagai pemicu refleksi, bukan hanya pengisi rubrik penilaian. Dan setiap dosen seharusnya melihat dirinya sebagai pelaku perubahan, dan bukan hanya sebagai pelengkap dan pelaksana kurikulum semata.
Mahasiswa Lulusan Kampus Kita Mampu ‘Berbicara’ Tentang Apa?
Sekali lagi, seperti yang saya sering tuliskan dan ungkapkan dalam berbagai macam kesempatan, mahasiswa lulusan kampus kita nanti tidak akan ditanya lagi tentang ‘Do you speak English?’ atau ‘Do you speak Arabics?’ atau ‘Do you speak Chinese?’
Tetapi pastinya mereka akan ditanya tentang ‘Do you speak about technology?’ atau ‘Do you speak about green economics?’ atau ‘Do you speak about humanitarian problem?’ atau ‘Do you speak about environmental ethics?’ atau ‘Do you speak about renewable green energy?’ atau bahkan mereka juga akan ditanya tentang ‘Do you speak about civilized education system for the future?’
Sebuah kampus yang akan sukses di masa depan, adalah sebuah kampus yang mampu menciptakan mahasiswa-mahasiswa ‘nakal’ yang mampu berpikir ‘out of the box’ dalam mencari solusi atas semua permasalahan yang seedang terjadi di dunia saat ini, baik itu permasalahan dalam bidang sosial, ekonomi, pendidikan, teknologi, dan lainnya. Karena itulah diperlukan pengajar atau dosen-dosen yang ‘nakal’ pula, yang mampu melihat ‘kenakalan-kenakalan kreatif’ mahasiswanya dan mampu membimbingnya menjadi para innovator masa depan yang solutif.
Kita boleh ambil contoh beberapa kampus di Indonesia yang sudah berhasil masuk ke dalam jajaran kampus kelas dunia, dimana mereka telah mampu untuk memancing ‘kenakalan-kenakalan kreatif’ para mahasiswanya dan dosen-dosennya dengan ide-ide nya yang cemerlang dalam berbagai bidang.
Contohnya kampus Bina Nusantara (BINUS) yang unggul sebagai kampus swasta dengan melakukan pendekatan terhadap dunia industri, global exposure (bekerjasama dengan provider teknologi, seperti Apple dan Google), dan semangat entrepreneurship para mahasiswanya.
Atau contoh juga beberapa kampus negeri seperti UI, ITB, dan UNAIR yang mempunya kekuatan di bidang riset, reputasi akademik, dan kontribusi kelimuan secara nasional. Atau juga kampus berbasis teknologi seperti kampus Telkom dan ITS yang menjadi jagoan teknologi dan inovasi digital.
Jadi, jangan sampai kampus yang menjadi kebanggaan kita selama ini hanya mampu menghasilkan lulusan yang selalu membawa ijazahnya untuk ‘dijajakan’ ke berbagai macam pabrik atau kantor-kantor, hanya demi menjadi pegawai yang seharusnya tanpa kuliah pun sebenarnya tidak pantas untuk itu.
Sekali lagi, sebuah kampus bukanlah sebuah bangunan tembok yang menghalangi realitas, tetapi wadah yang menyerap keresahan mahasiswa dan menyulapnya menjadi solusi, yang dapat menyatukan teori dan praktik melalui ‘kenakalan-kenakalan kreatif dan inovatif’ yang dapat memuat diskusi lintas batas.
Bayangkan jika ruang kelas-ruang kelas kampus kita berubah menjadi ruang prototipe ide-ide sosial, ekonomi, pendidikan, lingkungan, dan masih banyak lagi…..luar biasa,bukan?
Wallahu’allam bisshowab
Jakarta, 8 Juli 2025
*Dosen Prodi PBA, PAI, dan Pascasarjana UNIDA Bogor/ Director of Logos Institute for Education and Sociology Studies (LIESS) / Pemerhati Pendidikan dan Sosial/ Anggota PJMI