Berdaulat.id, JAKARTA – Dalam rangka memperingati Hari Internasional untuk Memerangi Islamofobia (International Day to Combat Islamophobia) pada 15 Maret, Gerakan Nasional Anti Islamofobia (GNAI), Aspirasi Indonesia, dan Majelis Ormas Islam Indonesia (MOI) menggelar diskusi bertajuk “Islamofobia di Tengah Liberalisme, Islamofobia di Indonesia, dan Perancangan RUU Anti-Islamofobia Indonesia” di Gedung Dewan Dakwah Islamiyah (DDI), Sabtu (15/3/2025).
Diskusi ini dipandu oleh Sekretaris Jenderal Presidium Nasional GNAI, Alexander Abu Taqi M. Masyetino, dan menghadirkan sejumlah pembicara, di antaranya Ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri, Prof. Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, Anggota Komisi III DPR RI sekaligus Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi PKS, Dr. Hidayat Nur Wahid (HNW), serta Ketua Ikatan Advokat Muslim Indonesia, Abdullah Al Katiri.
Dalam diskusi ini, Prof. Sudarnoto Abdul Hakim menegaskan bahwa sikap Indonesia terhadap Islamofobia sudah jelas, terutama dalam mengecam tindakan diskriminasi global, seperti pembakaran Al-Qur’an di Swedia. Namun, ia menilai bahwa Islamofobia di dalam negeri masih marak terjadi dalam bentuk yang lebih halus.
“Islamofobia di Indonesia tidak sekasar seperti di Amerika Serikat dan Eropa yang terang-terangan menghina Islam. Namun, di dalam negeri, kita melihat gejala seperti penghilangan pelajaran agama di sekolah, pelabelan radikal dan teroris kepada umat Islam, serta upaya memisahkan agama dari politik,” ujar Prof. Sudarnoto.
Bahkan, ia mengungkapkan adanya upaya untuk menghapus peran tokoh Islam dalam sejarah kemerdekaan Indonesia.
“Ada buku sejarah yang mencoba menghilangkan kontribusi tokoh-tokoh Islam seperti KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, dan Mohammad Natsir dalam perjuangan kemerdekaan. Beruntung, buku tersebut tidak jadi diedarkan setelah mendapat protes keras dari para tokoh agama,” jelasnya.
Untuk mencegah diskriminasi lebih lanjut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) bersama sejumlah ormas Islam telah menyusun draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Anti-Islamofobia, yang akan segera diajukan ke DPR.
“Kami telah menyusun naskah akademik RUU ini. Sebelum diserahkan ke pemerintah dan DPR, kami membuka diskusi dan mencari masukan dari berbagai pihak,” tambahnya.
Mendukung inisiatif ini, Dr. Hidayat Nur Wahid (HNW) menegaskan bahwa Fraksi PKS siap memperjuangkan RUU Anti-Islamofobia di DPR.
“Kami mendukung penuh langkah MUI dan GNAI. Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia harus memainkan perannya dalam memerangi Islamofobia, baik di dalam negeri maupun di tingkat global,” tegasnya.
Menurutnya, upaya ini memiliki dasar hukum yang kuat, termasuk resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 15 Maret 2022, yang menetapkan tanggal 15 Maret sebagai Hari Internasional untuk Memerangi Islamofobia.
“PBB mengeluarkan resolusi ini setelah peristiwa tragis penembakan 51 Muslim di Masjid Christchurch, Selandia Baru, pada 15 Maret 2019. Indonesia harus meratifikasi resolusi ini dan sekaligus mengesahkan undang-undang untuk melindungi umat Islam dari diskriminasi,” ujarnya.
Sementara itu, Alexander Abu Taqi M. Mayestino menuturkan bahwa Gerakan Nasional Anti Islamofobia (GNAI) telah dideklarasikan oleh tokoh-tokoh lintas organisasi Islam di Masjid Agung Al-Azhar, Jakarta Selatan, pada 15 Juli 2022.
“Deklarasi ini merupakan respon terhadap berbagai stigma negatif terhadap Islam, seperti pelabelan radikal, intoleran, dan teroris, serta bentuk diskriminasi lainnya. Gerakan ini juga merupakan dukungan terhadap deklarasi PBB tentang memerangi Islamofobia,” jelasnya.
Selain itu, ia juga menyerukan agar suara melawan Islamofobia terus digaungkan.
Majelis Umum PBB telah mengadopsi resolusi yang disponsori oleh 60 negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), yang menegaskan bahwa terorisme dan ekstremisme kekerasan tidak boleh dikaitkan dengan agama, kebangsaan, atau kelompok etnis tertentu.
Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres, berulang kali mengutuk tindakan kebencian dan diskriminasi anti-Muslim yang terus meningkat.
“Umat Islam di seluruh dunia menghadapi diskriminasi institusional, hambatan, dan pelanggaran hak asasi manusia. Retorika kebencian dan penggambaran Islam yang keliru telah menstigmatisasi masyarakat Muslim,” kata Guterres dalam pernyataannya.
Ia juga menegaskan bahwa platform digital harus mengambil langkah lebih tegas dalam menentang ujaran kebencian dan melindungi pengguna dari pelecehan berbasis agama.
Dengan semakin maraknya Islamofobia, baik di Indonesia maupun di dunia, diskusi ini menegaskan bahwa Indonesia perlu mengambil langkah konkret melalui RUU Anti-Islamofobia.
Dengan dukungan MUI, DPR, dan berbagai ormas Islam, diharapkan regulasi yang melindungi umat Islam dari diskriminasi dan kebencian berbasis agama dapat segera diwujudkan.
Peringatan Hari Internasional untuk Memerangi Islamofobia ini menjadi momentum penting bagi Indonesia untuk menegaskan posisinya dalam memerangi segala bentuk diskriminasi terhadap Islam, baik di tingkat nasional maupun global.