Jakarta, berdaulat.id – Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS), Hidayat Nur Wahid (HNW) meminta rancangan undang-undang (RUU) Anti-Islamophobia diusulkan ke DPR RI.
Karena, pemerintah dinilai memiliki sumber daya lengkap untuk menyodorkan rancangan undang-undang (RUU) tersebut.
“Kami menunggu RUU Anti-Islamophobia dari eksekutif (Pemerintah Republik Indonesia) yakni Menteri Agama RI, Menteri Hukum RI, dan Menteri Hak Asas Manusia (HAM) RI,” katanya.
Pernyataan ini disampaikannya dalam ‘Diskusi Peringatan Hari Lawan Islamofobia’ digelar Gerakan Nasional Anti Islamofobia (GNAI), Majelis Organisasi Massa Islam (MOI), dan Aspirasi Indonesia di Gedung Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Jakarta pada Sabtu (15/3/2025).
Dari sisi domestik, kehadiran RUU Anti-Islamophobia diharapkan bisa mengatur harmoni kehidupan beragama dan penolakan atas penodaan agama. Sedangkan, dari sisi global dapat menjadi dasar kewenangan Pemerintah Indonesia untuk bertindak ketika terjadi perilaku Islamophobia di luar negeri.
Contohnya, jika terjadi kasus pembakaran Al Quran atau pelecehan Islam di luar negeri, maka terdapat prosedur tetap yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Indonesia,
“Kementerian Luar Negeri untuk memanggil dan mendiskusikannya dengan Duta Besar negara terkait, sekalipun dengan tetap menghormati kedaulatan setiap negara,” ujarnya.
HNW menilai ide pembuatan RUU Anti-Islamophobia bisa merujuk dari RUU Memerangi Internasional Islamophobia yang pernah dibahas oleh Amerika Serikat (AS).
Salah satu aturan yang termuat dalam RUU itu adalah memberikan kewenangan kepada Pemerintah Amerika Serikat untuk memonitor dan memerangi tindakan-tindakan Islamophobia di luar negeri.
“RUU ini sempat diusulkan pada 2021, tetapi kemudian gagal disahkan, dan kini sedang dalam proses untuk dibahas kembali. Hal serupa juga terjadi di Kanada,” ucapnya.
HNW mendukung inisiatif MUI dan GNAI untuk mengusulkan RUU Anti-Islamophobia ke DPR RI dan F-PKS DPR RI siap menyambut, mendukung, dan memperjuangkannya. Gagasan tersebut perlu terus disuarakan dan direalisasikan semua pihak terkait.
“Apalagi untuk Indonesia, agar Indonesia sebagai salah satu negara berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia juga bisa memainkan perannya dalam memerangi Islamophobia, bukan hanya di dalam negeri tetapi juga di level global. Sebagai bentuk pengamalan terhadap Konstitusi (khususnya alinea ke-4 Pembukaan UUD NRI 1945),” ucapnya.
Memerangi Islamophobia
HNW mengutarakan ide pembuatan RUU Anti-Islamophobia memiliki landasan yang sangat kuat, yakni Resolusi PBB pada 15 Maret 2022 yang menetapkan 15 Maret sebagai International Day to Combat Islamophobia (Hari Internasional dalam Memerangi Islamophobia).
“Salah satu alasan dihadirkannya resolusi itu adalah peristiwa penembakan 51 muslim di masjid di Christchurch, Selandia Baru pada 15 Maret 2019 lalu dan banyak peristiwa Islamophobia lainnya,” ucapnya.
Peristiwa di Selandia Baru merupakan tragedi yang menargetkan Islam sebagai simbol dan umat Islam seperti di Eropa Utara, India, Myanmar, dan Israel.
“Semua komponen bangsa, terutama pemerintah, perlu sama-sama mendukung dan memperjuangkan pelaksanaan resolusi ini termasuk para Khotib Jumat yang kerap disarankan untuk memberikan khotbah Jumat mengenai ancaman Islamophobia ini setiap menjelang atau sesudah tanggal 15 Maret,” ujarnya.
HNW meneruskan Indonesia sebagai salah satu negara mayoritas berpenduduk muslim terbesar di dunia, negara hukum dan demokratis dinilai pantas menjadi pionir negara-negara Organization Islamic Cooperation/OIC (Organisasi Konferensi Islam/OKI) mempunyai UU Anti-Islamophobia.
Draft RUU Anti-Islamophobia
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Luar Negeri sekaligus Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Bidang Ilmu Sejarah Kebudayaan Islam, Sudarnoto Abdul Hakim mengakui MUI sudah siap menyampaikan RUU Anti-Islamophobia kepada DPR RI dan Pemerintah RI.
“Kami akan menemui DPR RI dan Pemerintah RI,” tuturnya.
Namun, perjalanan RUU Anti-Islamophobia dinilai masih panjang, karena ini masih memerlukan pembahasan dari sisi daftar inventaris masalah (DIM), kajian akademik, uji publik, sampai masuk program legislasi nasional (Proglegnas).
“MUI mendorong adanya Undang-Undang Anti-Islamofobia dan dalam hal ini, kami sudah menyusun draft rancangan undang-undangnya dan akan diserahkan ke DPR untuk diformulasikan,” ucapnya.
Perpres Anti-Islamophobia
Dengan begitu HNW berharap para tokoh umat Islam dihadirkan dalam membuat RUU Anti-Islamophobia. Namun, jika ini sulit direalisasikan DPR RI dan Pemerintah RI pada waktu dekat, maka untuk keperluan mendesak, Presiden Prabowo Subianto dapat menghadirkan peraturan presiden (Perpres).
Hal ini sejalan dengan konsep ratifikasi sebagai suatu perjanjian internasional ke dalam hukum Indonesia yang dapat dilakukan dengan undang-undang atau perpres.
“Memang Resolusi PBB ini bukan merupakan perjanjian internasional yang memerlukan proses ratifikasi. Namun, logika dan analogi tersebut tetap dapat digunakan, terutama terkait prosedur bagi Kemlu dalam bertindak memerangi Islamophobia sebagai materi muatan Perpres,” ucapnya.
HNW juga berharap tidak terdapat kelompok ‘phobia’ terhadap gagasan RUU Anti-Islamophobia, karena banyak negara barat memiliki aturan serupa, yakni UU Anti Semitisme (ujaran kebencian) kepada Yahudi.
Walaupun banyak kritikan akibat definisinya terlalu luas, karena menyangkut Negara Israel dan Zionisme yang ditolak oleh banyak warga Yahudi di Amerika Serikat (AS) dan di Israel,
Apalagi karena kejahatan-kejahatan kemanusiaan Israel terhadap Gaza terutama sejak 7 Oktober 2023.
Dengan begitu demi keadilan dan kemaslahatan, Indonesia sebagai anggota PBB yang menyetujui Resolusi PBB itu secara terbuka dukungan itu yang disampaikan oleh Menteri Agama Republik Indonesia (RI) saat itu, Yaqut Cholil Qoumas.
“Seharusnya Indonesia menindaklanjuti sikap resminya dengan menghadirkan UU Anti-Islamophobia dengan cakupan yang lebih jelas, tidak multitafsir, untuk menguatkan toleransi dan harmoni kehidupan beragama di antara umat beragama,” ucapnya. (adm)