Muhammad Faisal Fathori, yang menjabat sebagai Wakil Ketua Umum PP Lingkar Dakwah Mahasiswa Indonesia (LIDMI) dan juga Direktur Eksekutif Lingkar Advokasi LIDMI, baru-baru ini menyampaikan pernyataan resmi yang menyerukan perlawanan terhadap praktik-praktik elit politik yang dinilainya merusak tatanan demokrasi di Indonesia. Dalam sebuah video yang dirilis oleh LIDMI, Faisal menekankan pentingnya distribusi kekuasaan yang adil dan kompetitif dalam Pilkada Serentak 2024, sekaligus mengkritik keras fenomena politik dinasti, monopoli partai, kolusi, dan praktik penjegalan politik.
Faisal menegaskan bahwa kontestasi politik yang fair dan kompetitif harus menjadi prioritas di setiap wilayah Indonesia, terutama menjelang Pilkada Serentak 2024. Ia menyoroti bagaimana praktik-praktik seperti politik dinasti dan monopoli partai politik hanya akan memperburuk situasi demokrasi di Indonesia, yang seharusnya memberikan ruang bagi berbagai kalangan untuk berpartisipasi secara bebas dan adil.
Dalam pernyataannya, Faisal menekankan bahwa praktik-praktik semacam itu tidak hanya merusak demokrasi, tetapi juga menggadaikan masa depan bangsa. Praktik gentong babi, monopoli partai politik, kolusi, dan nepotisme bukan hanya tindakan yang merusak tatanan politik, tetapi juga mengancam keutuhan bangsa kita.”Jangan biarkan negeri kita hari ini tergadaikan atas fenomena ini,” ujar Faisal dengan tegas. Ia memperingatkan bahwa jika praktik-praktik ini dibiarkan, Indonesia akan semakin jauh dari cita-cita demokrasi yang adil dan merata bagi seluruh rakyat.
Faisal juga menyerukan kepada seluruh elemen gerakan mahasiswa dan aktivis untuk tidak hanya sekadar menyadari masalah ini, tetapi juga aktif bergerak dan berjuang melawan. “Mari bangkit, lakukan perlawanan, dan terjemahkan idealisme yang kita imani hari ini dalam satu manifesto perjuangan bersama,” lanjutnya. Faisal mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk tidak diam dan membiarkan segelintir elit politik merusak sistem yang seharusnya menjadi milik semua rakyat Indonesia.
Praktik Gentong Babi, Politik Dinasti, dan Monopoli Partai Politik
Praktik “Gentong Babi” adalah istilah yang kerap digunakan dalam politik untuk menggambarkan alokasi anggaran yang tidak adil dan cenderung menguntungkan kelompok tertentu, biasanya elit politik atau keluarga penguasa. Istilah ini mencerminkan praktik di mana anggaran publik digunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok kecil, tanpa memperhatikan kebutuhan masyarakat luas. Hal ini sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang seharusnya menjamin distribusi sumber daya yang merata dan adil.
Sementara itu, politik dinasti adalah fenomena di mana kekuasaan politik diwariskan dalam lingkup keluarga. Di Indonesia, politik dinasti telah menjadi isu yang mengkhawatirkan, terutama karena dapat menghambat regenerasi kepemimpinan yang sehat dan adil. Politik dinasti sering kali hanya memberikan peluang kepada mereka yang memiliki hubungan darah dengan penguasa untuk menduduki posisi-posisi penting, yang pada akhirnya menciptakan monopoli kekuasaan dan mengurangi kesempatan bagi orang lain untuk berkontribusi dalam pemerintahan.
Monopoli partai politik, di sisi lain, merujuk pada dominasi satu atau beberapa partai politik dalam proses pemilihan dan pencalonan, sehingga menghalangi masuknya calon-calon independen atau dari partai kecil. Putusan Mahkamah Konstitusi yang baru-baru ini dihasilkan diharapkan dapat mencegah monopoli ini dengan menurunkan ambang batas suara bagi partai untuk mengusung calon dalam Pilkada, yang diharapkan dapat membuka ruang bagi lebih banyak calon dan partai politik untuk bersaing secara sehat.
Faisal Fathori melalui pernyataannya berharap agar semua pihak, terutama mahasiswa dan aktivis, sadar akan bahaya praktik-praktik ini dan berjuang bersama untuk mengembalikan tatanan politik yang adil dan demokratis di Indonesia.