Kamis, September 25, 2025
No menu items!
BerandaNasionalMendorong Peradaban: Diskusi Publik tentang Pendidikan dan Hak Asasi di Indonesia

Mendorong Peradaban: Diskusi Publik tentang Pendidikan dan Hak Asasi di Indonesia

Berdaulat.id, Dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional (2 Mei) dan Hari Kebangkitan Nasional (20 Mei), Paramadina Graduate School of Diplomacy bekerja sama dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyelenggarakan Diskusi Publik bertajuk “Pendidikan, Hak Asasi Manusia, dan Peradaban Indonesia.” Acara ini berlangsung pada Sabtu (18/5) di Kampus Universitas Paramadina.

Dekan Fakultas Falsafah dan Peradaban, Dr. Tatok Djoko Sudiarto, membuka diskusi ini dengan menyoroti pernyataan Sekretaris Ditjen Dikti Kemendikbud Ristek bahwa pendidikan tinggi bersifat tersier. “Dunia pendidikan sangat prihatin dengan pernyataan tersebut,” ujarnya.

Benni Yusriza, MA, Dosen Program Studi Hubungan Internasional Universitas Paramadina, bertindak sebagai moderator dalam diskusi ini. Dalam pidato pembukaannya, ia menekankan pentingnya pembangunan sumber daya manusia untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045 dan menghindari “middle income trap.”

Ketua Komnas HAM Dr. Atnike Sigiro menegaskan bahwa hak atas pendidikan merupakan hak asasi manusia dan bukan keistimewaan. “Hak atas pendidikan tinggi seringkali dipisahkan dari hak atas pendidikan,” jelasnya. Atnike menambahkan bahwa pendidikan tinggi memiliki empat arti penting: hak pemberdayaan, hak mobilitas vertikal kelompok marjinal dari kemiskinan, hak atas akses sarana yang diperlukan untuk mewujudkan hak lainnya, dan hak untuk berkontribusi dalam pengembangan penuh kepribadian manusia. “Pendidikan gratis tidak berarti mengabaikan kualitas standar pendidikan,” tegasnya.

Dr. Bima Arya, Walikota Bogor dan juga Dosen Paramadina Graduate School of Diplomacy, menekankan pentingnya keberlanjutan dalam kebijakan publik, termasuk sektor pendidikan. “Apakah jumlah 61.271 jiwa penduduk Indonesia dengan latar pendidikan Doktor (S3) sudah cukup menjawab tantangan menuju Indonesia Emas 2045?” tanyanya. Bima juga menyoroti masalah dalam penerapan kebijakan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) melalui zonasi yang sering kali berujung “kisruh” akibat tata kelola kewenangan yang lemah.

Bima menambahkan bahwa tata kelola pendidikan nasional yang berkelanjutan merupakan kunci pembangunan sumber daya manusia. “Pembentukan karakter, pemenuhan jaminan hak atas pendidikan, dan masa depan demokrasi Indonesia dapat dilakukan melalui penguatan literasi, pendirian museum, dan perpustakaan,” ujarnya.

Dalam memori peradaban Indonesia, pendidikan merupakan kunci dalam proses pembentukan negara-bangsa. Kebijakan politik etis negara kolonial Hindia Belanda menyediakan ruang bagi pembentukan kesadaran kolektif atas konstruksi “bangsa” Indonesia melalui pendirian sekolah Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908. Semangat ini diejawantahkan dalam ikrar kolektif Soempah Pemoeda pada 28 Oktober 1928. Proses ini diabadikan sebagai memori kolektif bangsa melalui peringatan Hari Kebangkitan Nasional setiap 20 Mei sejak 1959.

Nilai utama Boedi Oetomo yang terangkum dalam “Ing ngarso sung tulodo (di depan memberikan contoh), ing madyo mangun karso (di tengah membangun motivasi), tut wuri handayani (di belakang memberikan dorongan)” merupakan kontribusi pemikiran Ki Hajar Dewantara. Upaya memerdekakan manusia ini memerlukan kepemimpinan yang mampu memberikan contoh teladan, memotivasi, dan mendukung. Hari kelahiran Ki Hajar Dewantara pada 2 Mei 1889, yang juga merupakan Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Indonesia pertama, ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional sejak 1959.

Diskusi publik ini menegaskan kembali pentingnya pendidikan dan hak asasi manusia dalam membangun peradaban Indonesia yang maju dan berkeadilan.

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Most Popular

Recent Comments