Pengalaman Estetis MudikOleh: Yons Achmad(Kolumnis, tinggal di Depok)
Berdaulat.id, Mudik kali ini saya dekati dengan perspektif seni. Artinya, ketika saya memaknai mudik, saya perlakukan sama halnya masuk dalam dunia seni. Dalam arti, ketika sengaja memasukinya melalui pintu seni, maka akan mendapatkan kenikmatan tertentu (aesthetic pleasure). Sebuah kenikmatan mendapatkan pengalaman dunia yang mungkin lain (berbeda), di mana kita biarkan hadir situasi yang pasti berbanding terbalik dengan dunia nyata.
Ya, sama halnya misalnya ketika ada yang menikmati lagu Queen “Bohemian Rhapsody” dengan tepuk tangan riang gembira. Padahal, lagunya bercerita tentang tragisnya kisah “Bohemian”. Sebuah gaya hidup yang nyentrik, tingkah laku yang di luar kebiasaan, melawan norma kemapanan. Gaya hidup “Miskin” kelas bawah, hidup menggelandang, nomaden dengan beragam kriminalitas sebagai pemandangan keseharian. Singkat kata, sering dipandang “Sampah Masyarakat”. Hanya, sudut pandang digeser sejenak ke rahim perayaan kegembiraan. Termasuk bagaimana menikmatinya dengan kesadaran, ia satu lagu, tapi sebenarnya ada 4-5 lagu berbeda di dalamnya.
Ada satu metode dalam dunia ketafakuran (meditasi) yang disebut dengan homeostasis. Istilah homeostasis berasal dari bahasa Yunani “homio” yang berarti mirip dengan dan “stasis” yang berarti berdiri diam. Sehingga homeostasis adalah kondisi di mana makhluk hidup mempertahankan kondisi yang stabil. Dalam biologi, dimaknai sebagai proses dan mekanisme otomatis yang dilakukan makhluk hidup untuk mempertahankan kondisi konstan agar tubuhnya dapat berfungsi dengan normal, meskipun terjadi perubahan pada lingkungan di dalam atau di luar tubuh.
Para pemikir kemudian mengembangkannya agar bisa relevan dengan praktik kehidupan manusia. Saya sendiri mengenal istilah homeostasis ini sebagai sebuah kesadaran dan teknik dalam penyembuhan diri. Saat sedang stress, panik, kondisi yang di luar harapan, pemaknaan homeostasis ini cukup membantu dalam proses penyembuhan diri seseorang. Dikaitkan dengan peristiwa kebudayaan mudik, saya coba mempraktikanya agar bisa punya pengalaman estetis.
Homeostasis, boleh dimaknai ketika tubuh manusia kembali ke dalam kondisi yang alami, kembali ke fitrahnya. Kalau dalam istilah teknologi kiwari (kekinian), ketika kita punya perangkat gawai pintar, sebut saja reset to factory setting. Kembali ke dalam kondisi yang paling awal. Nah, seringkali, manusia tidak bisa kembali ke kondisi awal demikian karena manusia terlalu banyak pikiran. Stres, takut, cemas akan masa depan sehingga badan dan pikiran tidak bisa rileks dan tenang. Homeostasis kemudian tidak terjadi.
Momen homeostasis ini, saya rayakan pada mudik tahun ini. Tekniknya adalah dengan “Menikmati” tanpa “Mengomentari” atau “Menghakimi”. Ketika banyak orang bercerita tentang capaian masing-masing, saya mencoba menikmati saja, mendengarkan. Begitu juga misalnya ketika macet parah datang, saya coba “Menikmati” tanpa “Mengomentari” dan “Menghakimi”. Hasilnya, saya merasakan apa yang disebut dengan pengalaman mudik yang estetis tersebut. Sebuah teknik menaruh semuanya pada kondisi “Sebelum Pikiran”.
Dalam bahasa yang rada religius dan sufistik, kita sebut saja kondisi demikian dengan “Kembali Ke Akar, Kembali Ke Sumber”. Dalam perkembangan lanjutan. Kalau kita teruskan, maka kita bisa melahirkan sebuah pikiran dan hati kita kembali ke fitrah. Kita bebaskan hati dari segala macam kebencian, semua bermaaf-maafan yang dimulai dari berjabat tangan dengan saling bertatap mata dan sedikit senyuman. Kita kembali ke episode kondisi kita yang alami, natural, fitrah yang tak terkotori oleh beragam muatan yang kita isi setahun belakangan baik sadar maupun tidak sadar. Kita kembali ke jatidiri yang asli. Kita kembali ke dalam diri yang stabil.
Kita sampai pada kondisi rileks yang sadar. Sebuah titik nyaman untuk membantu tubuh dan pikiran memulihkan dirinya sendiri. Ketika kita berada di kondisi homestasis ini, saya kira bisa membantu seseorang untuk kembali memutuskan, kembali merancang masa depan. Bukan dengan kekusutan pikiran, tapi dengan ketenangan yang melahirkan pencerahan. Inilah salah satu pengalaman estetis mudik yang coba saya rancang sebelumnya. Membalik realita dengan pemaknaan estetis.
Hanya saja, jebakan kesombongan ketafakuran (meditasi) demikian, merasa manusia, diri kita bisa mengendalikan semuanya, merasa hebat. Dalam filsafat dan seni misalnya hadir “Slogan” Descartes “Cogito Ergo Sum” (Aku Berpikir Maka Aku Ada) yang melahirkan misalnya pengagungan berlebihan terhadap akal. Atau “Slogan” L’art pour l’art (seni untuk seni) sebuah slogan Prancis, menolak seni untuk didekati dengan misalnya moral atau mendidik masyarakat. Seni sebagai seni, sebuah arogansi tersendiri. Maka “Kembali ke Akar, Kembali ke Sumber” menjadi inspirasi estetis yang dekat dengan fitrah kemanusiaan.
Kita sebut saja yang demikian ini dengan estetika Tauhid. Di mana, dalam kehidupan, bisa diupayakan dengan perpindahan dari kegelapan menuju cahaya. Caranya? Melalui upaya pencerahan. Usaha di atas adalah satu satunya. Membawa jiwa naik dalam perjalanan transformasi transendental. Menerobos dunia realita (keduniawian) menuju ke gerbang pencerahan keIlahian. Sebuah pengalaman estetis berkenabian, bukan yang lain. []