Kamis, September 25, 2025
No menu items!

Ngaji

Oleh: Yons Achmad(Penulis. Pendiri Komunikasyik.com)

“Anak Tukang Ngaji Lulus S3 UGM dengan IPK 4,00”. Sebuah berita menarik dari Kompas yang disebarkan via Twitter (X). Tapi, ada yang sedikit menggelitik? Anak tukang ngaji? Sontak, kasus “Bahasa Jurnalistik” ini menarik perhatian netizen (warganet).

Satu komentar yang mewakili, sebutan “Tukang Ngaji” cenderung merendahkan. Ada yang meluruskan, alangkah baiknya sebutan yang pas, anak “Guru Ngaji”. Karena “kecerewetan” warganet, berita itu direvisi. Sebagai orang yang menaruh minat pada dunia jurnalistik, saya tentu tak melewatkan peristiwa ini. Menjadi semacam temuan kejadian bagaimana penggunaan bahasa jurnalistik yang kurang pas.

Terlepas dari itu, perhatian saya malah fokus pada guru ngaji ini sendiri? Kalau memang sebutan tukang ngaji dianggap meremehkan, merendahkan. Apakah selama ini, orang Islam sendiri sudah memuliakan para guru ngaji? Ataukah ternyata memang mengganggap rendah seorang guru ngaji. Kita, juga perlu merenungi hal ini.

Ada sebuah kisah nyata…

Seorang Habib muda, diminta untuk mengajari ngaji anak orang, ya boleh dibilang “Orang Kaya”. Setiap Minggu diminta untuk datang ke rumahnya. Dengan bayaran sekian. Dan Sang habib pun menyetujuinya.

Pertama datang, lancar-lancar saja. Tak langsung mengajarinya mengaji plus semacam kajian-kajian siraman ruhani. Tapi, lebih dahulu memberikan semacam motivasi keutamaan ilmu.

Pertemuan kedua. Di halaman, Sang Habib melihat anjing peliharaan.
“Orang Kaya” itu.

“Wah jago sekali”
“Iya Bib, ada pelatihnya soalnya”
“Wah mahal dong,?”
“Mahal Bib,” sambil tak sengaja menyebutkan nominalnya.

Sang Habib tersenyum saja. Selesai mengajari ngaji orang itu, pulanglah ia ke rumah.

Pertemuan ketiga, Sang Habib ditunggu tidak datang-datang. Padahal hari ini jadwal mengaji yang telah disepakati. “Orang Kaya” itu telepon.

“Bib, kok nggak dateng,”
“Gue jadi pelatih anjing lu aja dah,” katanya sambil ketawa.

Begitulah. Gaji (honor) pelatih anjing, ternyata lebih besar dari guru ngaji. Ini kisah yang saya tulis terinspirasi dari kisah nyata.

Jadi, kalau ada yang bilang, sebutan tukang ngaji cenderung melecehkan. Apakah kita juga sudah memuliakan guru ngaji?

Jujur, berapa misalnya honor yang diberikan khatib Jumatan? Sementara, saldo kas jutaan. Berapa honor guru ngaji yang rutin berikan kajian-kajian di masjid-masjid? Kalau boleh jujur, kadang malah banyak yang tidak dibayar.

Jadi, sebelum terlalu bersemangat menuduh siapapun bahwa sebutan tukang ngaji melecehkan. Kita mulai menengok diri sendiri. Apakah kita sudah memuliakan Sang Guru Ngaji? []

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Most Popular

Recent Comments