
Oleh : HG Sutan Adil
Beredar banyak dimedia draf UU Pemilu 2024 yang sedang sudah masuk di Prolegnas 2021 ini dan akan dibahas dalam sidang2 di DPR. Sudah banyak masukan dan kritikan yang dilontarkan elemen masyarakat yang sangat mengkritisi khususnya keberadaan Parliamentary Threshold dan Presidential Threshold atau PT yang 20%.
Padahal saat ide penggabungan pemilu Legislatif dan Presiden oleh Prof. Drs.Effendi Ghazali, M.Si, MPSID, Ph.d seorang pakar ilmu politik di Indonesia, adalah untuk efektifitas Pemilu dan tidak ada lagi ambang batas alias PT tsb.
Pada saat perhelatan Pemilu 2019 lalu, Bang Effendi Ghazali menyakan bahwa kehacuran pemilu 2019 lalu adalah adanya keberadaan PT. Penerapan sistem presidential threshold (PT) terkesan sebagai upaya membatasi agar pertarungan di Pilpres 2019 hanya menghadirkan dua paslon saja.
“Semua hancur gara-gara presidential threshold, yang lebih terlihat sebagai upaya melarang putra dan putri terbaik bangsa untuk ikut masuk dalam kompetisi pilpres. Bahkan, ada kesan ingin membatasi agar hanya terdapat satu pasangan kompetitor dan kalau bisa dicari kompetitor yang terlemah,” kata Effendi lewat pesan singkat kepada CNNIndonesia.com, Rabu (24/4/19).
Dia menilai penerapan sistem PT ini membuat penyelenggara, pengawas, dan pihak keamanan kehabisan waktu, tenaga, serta energi untuk menangani konflik antara dua kubu yang bertarung di Pilpres 2019 lalu itu.
Akhirnya beliau pun berpendapat, situasi akan berbeda bila pasangan capres dan cawapres yang dihadirkan di Pilpres 2019 berjumlah lima paslon.
Betul, berkaca pada Pemilu 2004 lalu yang merupakan Pemilu terbaik yang pernah diadakan setelah reformasi, dimana terdapat ada 5 paslon presiden dan wakilnya yang berlaga, yaitu ;
- Pasangan Wiranto dan Salahuddin Wahid yang diusung Partai Golkar.
- Pasangan Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi yang dicalonkan PDIP.
- Pasangan Amien Rais dan Siswono Yudo Husodo yang dicalonkan PAN.
- Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla yang diangkat oleh 3 parpol sekaligus: Demokrat, Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI).
- Pasangan Hamzah Haz dan Agum Gumelar yang dicalonkan PPP.
Dengan banyaknya paslon presiden dan wakilnya yang bertarung seperti diatas, maka rakyat menjadi leluasa memilih calon pemimpinnya, dan terbukti dengan terpilihnya pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, secara umum dapat melaksanakan good government dg baik.
Dalam mengkritisi RUU Pemilu 2024 yang akan datang ini diharapkan kepada para anggota dewan dan partai berkuasa saat ini di parlemen untuk kembali berfikir jernih dan menghilangkan ego masing masing pihak dan kelompok, sehingga aturan pemilu nanti akan berjalan benar benar demokratis dan harus dilaksanakan secara akuntabel dengan menempatkan rakyat secara tepat di atas kepentingan politik atau golongan.
Dalam bukunya yang berjudul “Dasar-dasar Ilmu Politik”, Miriam Budiarjo menyatakan bahwa politik adalah usaha-usaha untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Politik dalam suatu negara berkaitan dengan masalah kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijakan publik (public policy), dan alokasi atau distribusi (allocation or distribution).
Tidak dapat disangkal bahwa dalam kenyataan sekarang ini proses politik sudah banyak mengalami segi-segi negatif. Hal ini disebabkan karena politik mencerminkan tabiat manusia, baik nalurinya yang baik maupun nalurinya yang buruk. Tidak heran jika dalam realitas sehari-hari acapkali berhadapan dengan banyak kegiatan yang tak terpuji, atau seperti yang dirumuskan oleh Peter Merkl bahwa Politik dalam bentuk yang paling buruk, adalah perebutan kekuasaan, kedudukan dan kekayaan untuk kepentingan diri sendiri atau golongan.
Dengan kata lain oligarki politik sudah berkembang menjadi suatu kelompok yang tamak dan haus kekuasaan dengan memanfaatkan kedudukan dan posisi yang didapat untuk membuat hukum dan aturan sesuai dengan keinginan oligarki politik mereka.
Secara yuridis, pemberlakuan Presidential Threshold tidak sejalan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan: “Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.” Tafsir gramatikal dan tekstual dari pasal ini menggambarkan bahwa setiap partai politik peserta pemilu berhak mengajukan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden serta tidak memberikan pengecualian, apalagi batasan terhadap partai politik peserta pemilu untuk mencalonkan pasangan presiden dan wapres.
Dengan diberlakukannya ambang batas atau presidential threshold pencalonan presiden dan wakil presiden, artinya hukum membatasi hak seseorang untuk dipilih dan maju dalam pencalonan presiden dan wakil presiden karena tersendat untuk mencapai presentase angka paling sedikit 20% dari jumlah kursi di DPR. Padahal fakta menunjukkan untuk mencapai angka 20% bukanlah hal yang mudah, bahkan beberapa partai politik besar saja harus berkoalisi dahulu dengan sesamanya untuk mencapai angka 20% tersebut.
Secara Filosofis pemberlakuan Presidential Threshold dapat mengkebiri hak politik (hak dipilih dan memilih) rakyat untuk mendapatkan presiden dan wakil presiden terbaik karena terkendala oleh ambang batas tersebut.
Filosofi dari pemilihan umum adalah menyangkut hak dipilih dan memilih sesuai dengan esensi negara demokratis. Seharusnya hak memilih berbanding lurus dengan hak dipilih, artinya pemilih harus memilih calon yang memang disediakan oleh sistem yang konstitusional dan tidak mengikuti selera Oligarki Politik tertentu. Hak pemilih adalah untuk mendapatkan akses terhadap banyak alternatif calon presiden dan wakil presiden sesuai konstitusi.
Tersiratnya, pembatasan calon berarti membatasi saluran politik pemilih dan dalam derajat tertentu mendorong voters turn out dalam bentuk golput, karena calon terbaik menurut mereka tidak dapat menjadi riil pasangan calon presiden dan wakil presiden akibat pembatasan tersebut.
Sebaliknya, penghapusan Presidential Threshold menjadi 0% berarti membuka saluran politik rakyat dan dalam derajat tertentu meningkatkan partisipasi pemilih karena daya tarik calon presiden-wapres yang lebih banyak pilihan alternatifnya.
Begitupun secara Sosiologis, kehadiran Presidential Threshold terbukti telah mengganggu dan menghambat kinerja presiden jokowi dalam menjalankan roda pemerintahan.
Pemberlakuan ambang batas 5% ini akan “memaksa” partai politik untuk berkoalisi, karena saat ini tidak akan ada partai politik yang mampu meraih suara mayoritas untuk memenuhi perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% suara sah nasional pada pemilu DPR sebelumnya.
Faktanya, PDIP sebagai partai pemenang pemilu hanya memperoleh 19,33%, sedangkan Golkar hanya 12.31%, Gerindra hanya 12.57%, Nasdem hanya 9.05%, PKB hanya 9.69%, Demokrat hanya 7.77%, PKS hanya 8.21%, PAN hanya 6.84% dan terakhir PPP hanya mendapatkan suara 4.52%
Dukungan partai politik kepada pasangan calon tentu tidaklah gratis, pasti ada hubungan timbal balik dibalik itu semua. Partai politik pendukung pasti meminta kompensasi sebesar-besarnya atas suaranya, akhirnya kemungikan tuduhan Bang Rizal Ramli akan adanya Cukong Politik yang bermain dalam pencalonan calon presiden dan wakilnya adalah sebuah keniscayaan.
Pada Kabinet Presiden jokowi saat ini terlihat jelas independensi beliau dalam memilih pembantunya alias menteri menjadi tidak terwujud. Beliau tidak bisa lagi sepenuhnya menggunakan hak yang diberikan konstitusi, karena harus menimbang “pasal-pasal perjanjian pranikah” dengan parpol-parpol pendukungnya.
Akibatnya, faktor profesionalisme tergeser oleh kepentingan politik pragmatis. Sehingga keindependensian presiden dan wakil presiden menjadi dipertanyakan.
Misalnya, Presiden Jokowi terkesan tidak lagi memiliki kontrol penuh atas pembantu-pembantunya. Walupun banyak terjadi korupsi besar2an dan penyimpangan sudah ramai diberitakan, namun karena “perjanjian pra nikah” yang sudah ditandatangani, Beliau tidak bisa bertindak bebas kepada para pembantunya yang “disersi” itu.
Terasa bahwa Presidential Threshold yang sudah berjalan beberapa kali dalam pemilu sebelumnya terbukti “GAGAL” , dan secara tidak langsung dapat menjadi bumerang bagi presiden terpilih nantinya.
Selain itu, dengan sistem pemilihan umum yang seperti ini, tidak akan lahir seorang pemimpin negara dari kalangan negarawan.
Sebaliknya, yang ada hanyalah pemimpin negara dari kalangan politisi. Padahal seorang negarawan sangatlah dibtuhkan, namun sulit dicari di era reformasi dan di tengah dengung demokrasi yang semakin menguat.
Calon presiden dari kalangan independen bisa saja menjadi sebuah oase, namun sistem perpolitikan di negara ini belumlah menghendaki dan siap menghadapi oase tersebut.
Telah menjadi kenyataan bahwa penerapan Presidential Threshold ini adalah permainan politik partai-partai besar dalam membuat konspirasi jahat untuk menghalangi peluang bagi munculnya calon presiden dan wakil presiden lain di luar partainya. Sehingga harusnya pemberlakuan Presidential Threshold ini sudah tidak relevan lagi alias GAGAL dan jika masih di terapkan dalam sistem pemilihan umum presiden dan wakil presiden di Indonesia yang terkesan Inkonstitusional dan hanya menguatkan Oligarki Politik saja.
*) Penulis adalah Ketua DPP FKMI (Forum Komunikasi Muslim Indonesia)
Bogor, 26 Januari 2021