Kamis, September 25, 2025
No menu items!
BerandaArtikel101 Catatan dan Ide Membangun Keluarga Bahagia #2# Antara Hak dan Kewajiban

101 Catatan dan Ide Membangun Keluarga Bahagia #2# Antara Hak dan Kewajiban

101 Catatan dan Ide Membangun Keluarga Bahagia #2# Antara Hak dan Kewajiban

Syaikh Dr. Musyabbab dalam bukunya 99 Fikrah Lihayah Zaujiyah Sa’idah  atau 99 Ideas for Happy Family Life menuliskan bahwa salah satu aspek membangun keluarga bahagia adalah masing-masing pasangan suami istri harus menempatkan hak dan kewajian secara adil.

Hak dan kewajiban merupakan aspek seyogyanya diperhatikan dan diketahui oleh masing-masing pasangan suami-istri (pasutri). Masing-masing pihak hendaknya memenuhi kewajibanya dengan baik dan mengambil haknya secara proposional, agar kehidupan rumah tangga berjalan dengan tentram dan saling memahami.

Sebab seringkali prolematika rumah tangga berimbas pada konflik bahkan perceraian disebabkan oleh ketidaktahuan terhadap hak dan kewajiban masing-masing. Atau karena  masing-masing pihak menuntut hak secara tidak tepat dan mengabaikan kewajiab.

Hal ini hanya dapat diselesaikan dengan cara masing-masing menempatkan diri secara bijak. Dengan cara menunaikan kebawajiban dan tidak hanya menuntut hak saja.

Berkenaan dengan hak dan kewajiban masing-masing pihak antara suami dan istri Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 228.

وَلَهُنَّ مِثْلُ ٱلَّذِى عَلَيْهِنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ

wa lahunna miṡlullażī ‘alaihinna bil-ma’rụfi

Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.

Makna ayat ini adalaah, “ istri-istri itu mempunyai hak yang sama dengan kewajiban mereka atas suami mereka”, kata Syekh Wahbah Az-Zuahili dalam Tafsirnya.

Menurut Syekh As-Sa’di hak dan kewajiban suami istri mengacu pada aspek ke-ma’ruf-an (dikenal baik) menurut adat istiadat di suatu tempat pada masa tertentu. Beliau mengatakan (tentang makna ayat tersebut), “para wanita memiliki hak yang wajib atas suami-suami mereka sebagaimana para suami memiliki hak yang wajib maupun yang sunnah atas mereka, dan patokan bagi hak-hak di antara suami-istri adalah pada yang Ma’ruf yaitu menurut adat yang berlaku pada negeri tersebut dan pada masa itu dari wanita yang setara untuk laki-laki yang setara, dan hal itu berbeda sesuai dengan perbedaan waktu, tempat, kondisi, orang dan kebiasaan”.

Senada dengan ayat di atas, dalam Sunnah Nabawiyah terdapat satu hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan;

“Ketahuilah bahwa kalian memiliki hak pada istri-istri kalian dan (sebaliknya) istri-sitri kalian memiliki hak pada kalian. Adapun hak kalian pada istri-istri kalian adalah mereka tidak boleh mengizinkan tempat tidur kalian dimasuki oleh orang yang benci dan tidak memasukkan ke dalam rumah kalian orang yang kalian benci. Sedangkan hak mereka pada kalian adalah kalian berlaku baik pada mereka dalam hal pakaian dan makanan”. (HR. Tirmidzi).

Penjelasan serupa juga disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menjawab pertanyaan sahabat Mu’awiyah bin Haidah radhiyallahu ‘anhu, “Apa hak istri-istrikami kepada kami?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab;

“Beri makan saat engkau makan, beri dia pakaian, jangan memukul wajah (nya), jangan menjelek-jelekkan, dan jangan memboikotnya kecuali di rumah”. (HR. Abu Daud).

Larangan menjelek-jelakkan atau memburuk-burukkan maksudnya larangan mengatakan qabbahakiLlahu (semoga Allah memburukkan/menjelekkanmu.

Baca Juga: 101 Catatan dan Ide Membangun Keluarga Bahagia #1# Tujuan Menikah

Sangat disayangkan masing-masing pasangan suami istri hanya memperhatikan hak dan kewajiban yang sifatnya fisik dan lahiriah. Sebagian suami hanya menunaikan kewajiban yang sifatnya lahir. Bahkan sangat sempurna, tapi mengabaikan kewajiban yang sifatnya batin seperti curahan perhatian dan kasih sayang. Seringkali kesibukan dan beban kerja menjadi dalih dan alasan mengabaikan hak istri yang sifatnya batin seperti perhatian dan kasih sayang.

Demikian pula sebaliknya, istri sangat telaten menuanikan kewajiban yang sifatnya fisik lahiriah. Seperti memasak, menyiapkan makanan, mengurus rumah, dan sebagainya. Tapi mengabiakan kewajiban yang sifatnya batin seperti perhatian kepada pasanga. Dengan alasan kesibukan mengurus rumah dan anak-anak serta umur yang makin bertambah menua.

Kelalaian dan sikap abai dari kedua belah pihak ini tidak dapat diterima sama sekali. Karena hak kewajiban mencakup aspek fisik lahiriah dan batiniah atau non fisik. Justru pengabaian terhadap hak dan kewajiban yang sifatnya non fisik dan hak batin memicu problem rumah tangga. Bahkan kadang berujung pada perceraian, wal ‘iyadzu billah.

Berkenaan dengan pemenuhan hak dan penunaian kewajiban yang sifatnya psikis dan batiniah ada satu kisah mulia yang menarik untuk dijadikan pelajaran. Saya menyebutnya kisah mulia karena kisah ini diabadikan dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kisah tersebut melibatkan dua sahabat Nabi yang mulia yakni Salman al-Farisi dan Abu Darda radhiyallahu ‘anhuma.

Sebagaimana tercatat dalam sirah, Salman dan Abu Darda dipersaudarakan oleh Rasulullah shalllahu ‘alaihi wa sallam. Suatu waktu Salman mengunjungi Abu Darda di rumahnya. Saat melihat Ummu Darda (Nyonya Abu Darda) yang kelihatan (maaf) kucel/kumal (tanpa hiasan), Salman bertanya “kenapa kamu ….”

“Saudaramu Abu Darda itu sudah tidak punya hasrat terdapat kenikmatan dunia”, jawab Ummu Darda.

Tatkan Abu Darda datang, beliau menghidangkan makanan kepada Salman. “Silahkan makan, karena saya sedang puasa”[1], kata Abu Darda. “Saya tidak mau makan hingga engkau turut makan”,[2] ujar Salman. Maka Abu Darda pun ikut makan bersama  sahabatnya Salman.

Ketika malam tiba (Salman menginap di rumah Abu Darda) Abu Darda meninggalkan Salman dan pergi untuk melakukan salat malam. Salman menahan Abu Darda seraya berkata, “tidur (dulu)”! maka Abu Darda tidur. Setelah tertdur beberapa saat Abu Darda bangun dan pergi untuk salat. Salman kembali menahan Abu Darda dan mengatakan, “tidurlah”. Maka Abu Darda kembali melanjutkan tidur.

Tatkala menjelang masuk waktu Subuh Salman mengajak Abu Darda  bangun dan salat. “Ayo, sekarang kita salat”. Lalu keduanya salat bersama. Setelah salat Salman mengatakan kepada Abu Darda:

 إِنَّ لِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِضَيْفِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، فَأَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ

“Sesungguhnya dirimu memiliki hak atas dirimu, Tuhanmu memiliki hak kepadamu, tamumu memiliki hak kepadamu, dan keluarga (istri) mu juga memilki hak kepadamu, maka berikanlah kepada pemilik hak itu haknya”.

Keesokan harinya keduanya mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Keduanya menceritakan peristiwa tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka Rasul mengatakan kepada beliau berdua, “shadaqa Salman, Salman benar”.

 Syaikh Prof. DR. Nashir al-Umar dalam artikelnya 60 Qa’idah fi al Hayah al-Zaujiyah (serial 60 kaidah dasar tentang kehidupan suami istri) pada kaidah ke-53 yang berjudul A’thi kulla Dzi haqqin Haqqahu (Berikanlah kepada setiap pemilik hak  haknya) menuliskan, yang menjadi syahid (landasan hukum) dari hadis di atas adalah kata-kata terakhir Salman kepada Abu Darda, “berikan kepada setiap pemilik hak itu haknya masing-masing”. Dan sikap Salman terhadap Abu Darda disetujui dan dibenarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Bahkan menurut Syekh Nashir al-Umar, perkataan Rasulullah “Salman benar” merupakan bentuk pembenaran (menganggap benar) terhadap sikap Salman kepada Abu Darda. Dimana saat itu Abu Salman (1) mengajak Abu Darda makan bersama dan membatalkan puasa sunnahnya demi menemani beliau sebagai tamu makan bersama. (2) Menahan Abu Darda dari melakukan salat semalam suntuk guna memberikan hak kepada diri dan tubuhnya yang butuh tidur. Nah, sikap Salman tersebut diafrimasi oleh Rasulullah secara tegas dengan mengatakan, “(apa yang dilakukan) Salman (kepadamu wahai Abu Dzar) adalah benar”.

Oleh karena itu  wajib bagi setiap pihak memberikan dan menunaikan hak kepada setiap pemiliknya. Hal ini penting guna kelangsungan harmoni kehidupan yang baik. Maka suami hendaknya memenuhi hak istrinya, sebaliknya istri juga memenuhi hak suaminya. Tentu pemenuhan hak dan penunaian kewajiban tersebut dilakukan tanpa saling mengungkit apa yang telah diberikan kepada pemilik hak dan tidak saling menyakiti.

Ketika Istri Bertanya tentang Hak Suami Istri

Syekh Nashir al-Umar mengatakan, jika seorang wanita bertanya tentang hak-hak suami istri agar dapat memenuhi hak suaminya dan menunaikan kewajibannya dengan baik kepada suaminya serta memaafkan dan merelakan haknya yang belum dia peroleh, maka hal ini menunjukkan kebahagiaan dan ketentraman batin. Tapi jika sebaliknya, masing-masing pihak bertanya untuk menuntut haknya dan menunjukkan kelalaian pihak lain terhadap dirinya serta saling mengungkit kewajiba, maka dipastikan yang akan terjadi adalah perselisihan dan percekcokan. Hal tersebut bisa menjurus pada ketidak harmonisan.

Benar, ada hak masing-masing yang ditetapkan oleh syariat. Tapi tetap saja yang terpenting bahkan lebih afdhal kata syekh al-Umar adalah masing-masing pihak baik suami maupun istri tanazul (mengalah) dari sebagian hak-haknya. Tentu bukan semua hak. Karena tidak mungkin tercipta kehidupan bersama yang interaktif dan harmonis dengan melepaskan (tidak menuntut) keseluhan hak. Tapi dengan saling memaafkan dan melupakan hak diri yang belum diperoleh menjadi sebab harmoni kehidupan tetap terjaga.

Allah Ta’ala telah memberi panduan ilahiah yang sangat indah dalam ayat perpisahan (thalaq) melalui firman-Nya, “Dan kamu membebaskan (hakmu tanpa kamu ambil) itu lebih dekat kepada takwa, dan janganlah saling melupakan kebaikan masing-masing diantara kalian”.

Ayat tersebut berbicara tentang hak mahar  mantan istri yang dicerai atau ditalak sebelum dicampuri. Dimana jika suami menceraikan istri sebelum terjadi hubungan suami istri dan mahar belum diserahkan tapi sudah disebutkan, maka ada dua opsi terkait hak dan kewajiban memberi mahar. Pertama, Suami hanya memberi setengah (1/2) mahar; kedua, istri memaafkan tanpa mahar; ketiga, wali istri membebaskan/tidak meminta mahar sama sekali; keempat, suami tetap memberikan mahar yang disepakati secara utuh.  

وَإِن طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إِلَّآ أَن يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَا۟ ٱلَّذِى بِيَدِهِۦ عُقْدَةُ ٱلنِّكَاحِ ۚ وَأَن تَعْفُوٓا۟ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۚ وَلَا تَنسَوُا۟ ٱلْفَضْلَ بَيْنَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Wa in ṭallaqtumụhunna ming qabli an tamassụhunna wa qad faraḍtum lahunna farīḍatan fa niṣfu mā faraḍtum illā ay ya’fụna au ya’fuwallażī biyadihī ‘uqdatun-nikāḥ, wa an ta’fū aqrabu lit-taqwā, wa lā tansawul-faḍla bainakum, innallāha bimā ta’malụna baṣīr

Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan”. (Qs. Al-Baqarah:237)

Jika diantara mantan suami-istri yang belum bercampur  tetap ada  hak  dan kewajiban masing-masing, lalu bagaimana lagi dengan  kewajiban kepada mantan istri yang ditalak setelah hidup serumah sampai melahirkan anak-anak. Dan bagaimana lagi jika pasangan suami dan  istri masih dalam ikatan pernikahan?Karena itu, ‘’jangan saling melupakan kebaikan diantara kalian”.

Oleh karena itu janganlah seorang istri melalaikan sebagian hak-hak suami. Sebaliknya suami jangan pula mengabaikan sebagian hak-hak istri. Tetapi hendaknya masing-masing saling memenuhi hak dan saling memaklumi jika ada hak-hak yang belum terpenuhi. Sembari pada saat yang sama, masing-masing dari kedua bela pihak tetap berusaha semampunya menunaikan kewajibannya dan menunaikan hak pihak lainnya. Dengan tetap membangun kesadaran bahwa setiap orang memiliki kekurangan. Sehingga tidak perlu saling menyalahkan dan menuntut hak yang tidak diperoleh secara sempurna.

Dengan demikian akan tercipta suasan kehidupan keluarga dan pasutri yang harmonis dan bahagia, bi idznillah. []

Sumber: 99 Idea’s for Happy Family Life, Website almoslim.net, dan islamweb.net


[1]Yakni puasa sunnah

[2] Salman tahu bahwa Abu Darda sedang puasa sunnah dan orang yang puasa sunnah boleh membatalkan puasanya, apalagi saat sedang menjamu tamu.

Dr. Syamsuddin Lahanufi M. Pdi
Dr. Syamsuddin Lahanufi M. Pdi
Dr. Syamsuddin Lahanufi, M. Pdi. adalah penulis aktif yang juga merupakan pimpinan Pesantren Tahfidz Wahdah Islamiyah Bogor, dosen di STAIA Bogor dan pengurus MUI Pusat Komisi Pendidikan & Kaderisasi. Gelar Doktor diraihnya di Pascasarjana Universitas Ibnu Khaldun Bogor pada 25 Februrari 2020
RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Most Popular

Recent Comments